header ads
WHAT'S NEW?
Loading...
Showing posts with label Makalah. Show all posts
Showing posts with label Makalah. Show all posts
Setiap program, kegiatan-kegiatan atau sesuatu yang lain yang direncanakan selalu diakhiri dengan suatu evaluasi. Evaluasi dimaksudkan untuk melihat kembali apakah suatu program/kegiatan telah sesuai dengan perencanaan atau belum. Dari kegiatan evaluasi akan diketahui hal-hal yang telah / akan dicapai sudahkah memenuhi kriteria yang ditentukan. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut kemudian diambil keputusan apakah program tersebut akan diteruskan ataukah direvisi / bahkan diganti seluruhnya.
Kegiatan pengembangan kurikulum juga tidak akan lepas dari unsur evaluasi, karena evaluasi merupakan salah satu komponen yang amat penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam banyak hal, komponen penilaian sangat berperan dalam menunjang keberhasilan pengembangan kurikulum, seperti yang kita ketahui, kurikulum yang dikembangkan itu masih berupa perencanaan-perencanaan bersifat teoritis dan abstrak. Dengan adanya evaluasi, kita akan memperoleh gambaran mengenai keberhasilan kurikulum yang sedang / telah dikembangkan di sekolah-sekolah. Dari kegiatan evaluasilah akan diketahui kelebihan, kelemahan dan kekurangan-kekurangannya.
Manajemen sebagai suatu proses sosial, meletakkan bobotnya pada interaksi orang-orang, baik orang-orang yang berada di dalam maupun di luar lembaga-lembaga formal, atau yang berada di atas maupun di bawah posisi operasional seseorang. Selain itu juga manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Mengingat dan lupa dalam psikologi biasanya di kemukakan dengan satu pengertian saja, yaitu “retensi” . jadi retensi menunjukkan hal mengingat dan lupa yang keduanya hanya merupakan sudut tinjauan yang berbeda tentang sesuatu yang satu. Hal yang diingat adalah hal yang tidak dilupakan, dan hal dilupakan adalah hal yang tidak diingat (tidak dapat mengingat kembali).[1]
Ingatan merupakan proses mental yang menyimpan informasi yang telah diperoleh dan kemudian mengeluarkannya kembali sebagai tindakan dalam situasi yang diperlukan, seperti menyelesaikan masalah atau aktivitas pengajaran dan pembelajaran selanjutnya. Pada dasarnya proses ingatan adalah sesuatu yang membentuk jati diri manusia dan membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوّاً مُّبِيناً

101. Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar[343] sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

[343]  menurut pendapat Jumhur arti qashar di sini ialah: sembahyang yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, yaitu di waktu bepergian dalam keadaan aman dan ada kalanya dengan meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, yaitu di waktu dalam perjalanan dalam keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam keadaan khauf di waktu hadhar.


A. Defenisi Lupa
Dari pengalaman sehari-hari, apa yang dialami dan dipelajari individu tidak seluruhnya tersimpan dalam memori. Menurut Gulo dan Rebber lupa adalah ketidak mampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialaminya. Dan menurut salah seorang ahli psikologi lupa adalah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau mereproduksi kembaliapa-apa yang sebelumnya telah dipelajari.
Sering sekali kita memandang lupa sebagai gejala yang menyedihkan, yang seharusnya tidak ada, namun mau tidak mau kita harus mempunyai sifat lupa tersebut. Mungkin saja ada beberapa orang yang frustasi, karena sering sekali mengalami lupa pada hal sudah berusaha untuk mengingat apa yang telah dipelajarinya. Sehingga seringkali timbul pertanyaan-pertanyaan dari dalam diri siswa untuk apa belajar kalau nantinya tidak dapat diingat kembali atau lupa jua. Dan siswa/I cenderung menganggap bahwa lupa adalah sebagai musuh besar. Bahkan, tidak sedikit siswa yang mencari alas an pokok bagi nasibnya yang malang ‘bakat ingatan lemah” atau pada dasarnya dia tidak dapat mengingat dengan baik, dan lupa-lupa saja karena tidak memiliki bakat untuk mengingat. Kalau gagasan semacam ini diteruskan, siswa malah sampai pada kesimpulan “lebih baik tidak belajar, toh akan lupa juga” maka dikhawatirkan kebodohan terjadi dimana-mana. Maka, bagi guru maupun siswa mendambakan keadaan lain serba ideal, dimana tidak terjadi lupa dan segala apa yang pernah dipelajari dapat di ingat dengan baik.

Psychology Education: Pengertian Lupa dan Kejenuhan
            Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. Jadi lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
  1. 1.      Faktor-faktor Penyebab Lupa
    1. Lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Gangguan konflik ini terbagi menjadi dua yaitu:
  • Gangguan proaktif (Proactive interference) yaitu apabila materi pelajaran lama yang sudah tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Ini terjadi jika siswa mempelajari materi yang mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. (Psychology Education, 2002)
  • Ganguan retroaktif (retroactive interference) yaitu apabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap pemanggilan kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanen siswa. Jadi materi pelajaran lama akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali, sehingga siswa tersebut lupa. (Psychology Education, 2002)
Konsep Manajemen
Manajemen adalah kekuatan utama dalam organisasi mengatur atau mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan sub-sub sistem dan menghubungkannya dengan lingkungan. Manajemen merupakan suatu proses di mana sumber-sumber yang semula tidak berhubungan satu dengan lainnya lalu diintegrasikan menjadi suatu sistem menyeluruh untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Manajer bertanggung jawab mengintegrasikan unsur-unsur manusia, mesin dan uang dan lain-lain menjadi produktif. Manajer berupaya mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan kearah pencapaian tujuan-tujuan sistem organisasi.
Manajemen sebagai suatu proses sosial, meletakkan bobotnya pada interaksi orang-orang, baik orang-orang yang berada di dalam maupun di luar lembaga-lembaga formal, atau yang berada di atas maupun di bawah posisi operasional seseorang. Selain itu juga manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam manajemen. Memahami dan mengenal berbagai aspek manajemen pendidikan merupakan salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin di samping tugas pokoknya mengatur atau memimpin, ia juga berfungsi sebagai manajer pendidikan. Perilaku pemimpin yang positif dapat mendorong kelompok dalam mengarahkan dan memotivasi individu untuk bekerja sama dalam kelompok, dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.
A. PENDAHULUAN

Syeikh Hamzah al-Fansuri, kiranya namanya di Nusantara di kalangan Ulama dan Sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya syeikh Syamsuddin Sumatrani adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan al-Hallaj. Faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain.

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan jenis dan bentuk muamalah yang dilaksanakan oleh manusia sejak dahulu sampai sekarang sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan pengetahuan manusia itu sendiri. Dalam hal ini kita sebagai muslim harus mampu menguasai aturan-aturan yang berlaku sebagai mestinya yang disetujui agama. Dalam hal bermuamalah itu telah diatur berbagai ketentuan. Di sini kami akan mencoba untuk menjelaskan tentang aspek-aspek tersebut yaitu mengenai ‘Syuf’ah dan syirkah’.
Syuf’ah yaitu Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan”.
Syirkah ialah kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam berusaha, kemudian keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
Dengan demikian aktivitas muslim tidak terlepas dari nilai ketuhanan, maka kita harus bisa mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan syariat islam.
BAB I
PENDAHULUAN

A. latar belakang
Satu di antara tiga pilar kebijakan pendidikan adalah meningkatkan kualitas dan relevansi guna meningkatkan daya saing keluaran pendidikan (lulusan). Salah satu upaya untuk mencapai tujuan dari pilar kebijakan tersebut adalah pengembangan guru sebagai profesi, merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi. Sesuai dengan usaha dan prestasinya, guru akan memperoleh imbal jasa, insentif dan penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atau tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru.
Pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik akan dikembangkan baik untuk calon guru (pre-service) maupun untuk guru yang sudah bekerja (in-service). Standar profesi guru akan dikembangkan sebagai dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan. Untuk meningkatkan kualifikasi dan profesionalisme guru, perlu memberikan bekal penguasaan TIK pada guru agar mereka mampu melaksanakan pembelajaran yang menggunakan multimedia secara baik. Peningkatan mutu pendidikan semakin diarahkan pada perluasan inovasi pembelajaran baik pada pendidikan formal maupun non-formal dalam rangka mewujudkan proses yang efisien, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai tingkat usia, kematangan, serta tingkat perkembangan peserta didik.
Pengertian Fiqih


Fiqih atau fiqh (bahasa Arab:???) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.[1] Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.
Fiqih membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat 4 mazhab dari Sunni, 1 mazhab dari Syiah, dan Khawarij yang mempelajari tentang fiqih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fiqih disebut Faqih.

Pada masa Nabi SAW dan para Khulafaurrasyidin, umat islam bersatu mereka satu akidah satu syariah dan satu Akhlaqul Karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan di antara mereka. Awal mula adanya perselisihan di picu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang yahudi) pada pemerintahan khalifah Utsman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali. Dan awal mula adanya gejala timbulnya aliran-aliran adalah sejak kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah ke-3 setelah wafatnya Rasulullah). Pada masa itu di latar belakangi oleh kepentingan kelompok, yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, pada masa itu perpecahan di tubuh umat islam terus berlanjut. Umat islam pada masa itu ada yang pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang menamakan dirinya kelompok syi’ah, dan yang kontra yang menamakan dirinya kelompok Khawarij. Akhirnya perpecahan memuncak kemudian terjadilah perang jamal yaitu perang antara Ali dengan Aisyah dan perang Siffin yaitu perang antara Ali dengan mu’awiyah. Bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai aliran di kalangan umat islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah, akhirnya jumlah aliran di kalangan umat islam menjadi banyak, seperti aliran syi’ah, khawarij, murji’ah, jabariyah, mu’tazilah dll.

a. Aliran Khawarij
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur Syam, pada waktu perang siffin. Mereka tidak setuju, karena beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan Al-Quran adalah kafir. Dengan demikian, orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir.
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh di tangan mereka.

Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:
1. Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir dan harus di bunuh.
2. Orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan Zubair, dengan Ali bin Abi Thalib) dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan membenarkannya di hukum kafir,
3. Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
4. Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila sudah memenuhi syarat-syarat.
5. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zalim.
6. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
7. Khalifah Ali dianggap menyeleweng setelah terjadi Tahkim.

b. Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena hanya tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.
Pandangan mereka itu terlihat pada kata murji’ah yang berasal dari kata arja’a yang berarti menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan.
Hal-hal yang melatar belakangi kehadiran murji’ah antara lain adalah :
1. Adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij; mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan ali dan mengkafirkan orang- yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang siffin.
2. Adanya pendapat yang menyalahkan aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
3. Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan.
Ajaran-ajaran pokok murji’ah dapat di simpulkan oleh Abu A’la Al-Maududi sebagai berikut: .
1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal merupakan suatu keharusan bagi adanya iman, jadi seseorang masih dianggap mukmin walaupun meninggalkan kewajibannya atau melakukan dosa besar,
2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama ada iman di hati, setiap maksiat tidak mendatangkan mudarat. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cuma dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam akidah tauhid.


c. Aliran Qadariyah
Dalam paham Qadariyah manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qada dan qadar (Muncul pada tahun70 H/689 M).
Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan keduanya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT. Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qur’an dan Hadits, bukan sebaliknya. Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al Dimasyqi. Kedua tokoh ini yang mempersoalkan tentang Qadar.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul pokok-pokok ajaran qadariyah adalah:
a. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
b. Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
c. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seperti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zatnya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan melihat dengan zatnya sendiri.
d. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang jelas di dalam Al-Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah. Dengan demikian paham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai paham ini sesat atau keluar dari islam
d. Aliran Jabariyah
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebabkan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak tuhan.
Munculnya mazhab ini berkaitan dengan munculnya Qadariyah. Daerah kelahirannya pun berdekatan. Qadariyah muncul di irak, jabariyah di khurasan. Aliran ini pada mulanya di pelopori oleh al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam perkembangannya. Aliran ini di sebarluaskan oleh jahm bin Shafwan. Karena itu aliran ini terkadang disebut juga dengan Jahmiah.
Jaham bin Shafwan mempunyai pendirian bahwa manusia itu terpaksa, tidak mempunyai pilihan dan kekuasaan. Manusia tidak bisa berbuat lain dari apa yang telah di lakukannya. Allah SWT, telah mentakdirkan ats dirinya segala amal perbuatan yang mesti di kerjakannya, dan segala perbuatan itu adalah ciptaan Allah, sama seperti apa yang dia ciptakan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, jaham menafsirkan bahwa pahala dan siksa merupakan paksaan dalam arti bahwa allah telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus memberi pahala dan allah telah mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus juga menyiksanya.
Sehingga, dalam realisasinya, orang yang termakan paham ini bisa menjadi apatis dan beku hidupnya, tidak bisa berbuat apa-apa, selain berpangku tangan, menunggu takdir Allah semata-mata dan berusaha pun tidak. Karena mereka telah berkeyakinan bahwa Allah telah mentakdirkan segala sesuatu, dan manusia tidak bisa mengusahakan sesuatu itu.
Di sisi lain, aliran ini tetap berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Berkenaan dengan itu perlu dipertegas bahwa Jabariyah yang di kemukakan Jaham bin Shafwan adalah paham yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad Al-najjar dan Dirar Ibn ‘Amr.
Menurut Najjar dan Dirar, bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan Manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif Tetapi dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh tuhan, mempunyai efek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut Kasb atau acquisition.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang di gerakkan oleh dalang, tetapi manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu perbuatan, dan manusia tidak semata-mata di paksa dalam melaksanakan perbuatannya.

e. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota Basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Di sisi lain, yang melatar belakangi munculnya kedua Mu’tazilah di atas tidaklah sama dan tidak ada hubungannya karena yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang kedua muncul karena didorong oleh persoalan aqidah Dalam perkembangannya, Mu’tazilah pimpinan Washil bin Atha’ lah yang menjadi salah satu aliran teologi dalam islam.

f. Ahlussunah Wal- Jamaah
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (I’tikad) nabi dan para sahabat beliau. Ahlussunnah sering juga disebut dengan Sunni dapat di bedakan menjadi 2 pengertian, yaitu khusus dan umum, Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syiah, Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagai mana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu al hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.
a) Abu Al Hasan al Asy’ari
Pokok-pokok pemikirannya
• Sifat-sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Alqur’an, yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri di atas zat tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
• Al-Qur’an, Menurutnya, al-Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
• Melihat Tuhan, menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
• Perbuatan Manusia. Menurutnya, perbuatan manusia diciptakan tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri.
• Keadilan Tuhan, Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu merupakan kehendak mutlak tuhan sebab tuhan maha kuasa atas segalanya.
• Muslim yang berbuat dosa. Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat di akhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin

b) Abu manshur Al-Maturidi
Pokok-pokok pemikirannya :
• Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan Al Asy’ari
• Perbuatan Manusia. Menurutnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu sendiri, dan bukan merupakan perbuatan tuhan.
• Al Quran. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
• Kewajiban tuhan. Menurutnya, tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
• Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
• Janji tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan janji tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.

Pokok ajran mu’tazilah
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yang dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
a) Al Tauhid (ke esaan Allah)
b) Al ‘Adl (keadlilan tuhan)
c) Al Wa’ad wa al wa’id (janji dan ancaman)
d) Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
e) Amar mauruf dan Nahi mungkar.

Perbedaan Pendapat tentang Akal dan Wahyu antara mu’tazilah, asy-sya’ari dan maturidi)
Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan, masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan (khusul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifat Allah).
Kedua cabang dari masalah kedua ini adalah mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat (ma’rifah al-husn wa al-Qubh dan wujud i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih yang juga disebut al-tahsin wa al-tawbih). Masing-masing aliran memberikan jawaban-jawaban yang berlainan.
Menurut golongan mu’tazilah bahwa mereka menyimpulkan bahwa dari keempat permasalahan di atas, semuanya dapat diketahui oleh akal. Golongan Asy’ariyah tidak sependapat. Dan mengatakan bahwa betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadanya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh memperoleh hukuman.
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Al-Ghazali, seperti al-Asy’ari dan al-Baghdadi juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu.
Al-Maturidi, bertentangan dengan pendapat Asy’ariyah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah. Bahwa yang diwajibkan akal ialah perintah dan larangan bukan mengetahui mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, yang pada intinya bahwa akal hanyalah dapat mengetahui tiga persoalan pokok. Sedang yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui hanya melalui wahyu. Ini juga sependapat dengan golongan Samarkand dan Bukhara. Walaupun demikian, sebagian dari golongan Bukhara berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui baik dan buruk dan sebenarnya mereka masuk dalam aliran Asy’ariyah dan Muturidiah.
Untuk itu dapatlah disimpulkan bahwa mu’tazilah memberikan daya besar kepada akal. Muturidiah Samarkand memberikan daya kurang besar dari mu’tazilah, tetapi lebih besar dari pada Muturidiah. Diantara semua aliran itu, Asy’ariyahlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.
BAB I
PENDAHULUAN

Perbedaan adalah sebuah Sunnatullah kehidupan. Setiap orang melihat suatu masalah dari sudut pandang, lalu memberikan kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil pemikirannya. Hal yang sama juga terjadi dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ikhtilaf atau perbedaan pandangan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah juga terjadi sejak dahulu.
Kami bertujuan memaparkan secara singkat tentang tafsir bi Ar-Ra’yi serta menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an tersebut. Tentu saja dengan harapan agar kita dapat memahami dan mengambil sikap yang tepat menghadapi perbedaan tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir bi-Ra’yi
Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Al-Jurzani: Tafsir berarti الكشف والاظهار (menyingkap/membuka dan melahirkan).Tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad manusia untuk menyingkapkan nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti keyakinan (i’tiqad), analogi (qiyah), dan ijtihad. Dan ri’yi dalam terminologi dalam tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir ar-ra’yi (disebutn juga tafsir addirayah)- sebagaimana didefinisikan Adz-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya di ambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab, dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan serta problema penafsiran, seperti asbab nuzul, dan nasikh-mansukh. Adapun Al-Fararnawi mendefinisikannya sebagai berikut Menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad setelah si mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab berbicara dan mengetahui kosakata-kosakata Arab beserta muatan artinya. Untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, si mufassir pun di bantu oleh Sya’ir Jahiliyah, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lainnya yang dibutuhkan oleh seorang mufassir.. Sebagian diutarakan pada penjelasan pada syarat-syarat menjadi mufassir.
Tafsir bi ar-Ra’yi muncul sebagai buah “corak” penafsiran belakang setelah munculnya tafsir bi al-Ma’tsur walaupun sebelum ra’yi dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur’an. Apalagi kalau kita tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
As-Sayuthi mengutip pendapat Zarkasyi dalam al-Burhan mengenai syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh seorang agar ia boleh menafsirkan al-Qur’an berdasarkan Ra’yu , syarat-syarat pokok itu berkisar di sekitar empat soal:
1. Berpegang pada hadits-hadits berasal dari rasul SAW dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif dan maudhu’
2. Berpegang pada ucapan sahabat nabi karena apa yang mereka katakan, menurt peristilahan hadits hukumnya mutlak marfu’ (sahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat (ar-ra’yu)
3. Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa Arab dan harus tetap berhati-hati jangan sampai menafsirkan ayat-ayat menyimpang dari makna lafadz yang semestinya, sebagaimana banyak terdapat di dalam pembicaraan orang-orang Arab,
4. Berpegang teguh pada maksud ayat dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara’. Itulah yang dimaksud Rasulullah alam doa beliau bagi Ibnu Abbas, yaitu: “Ya Allah, Limpahkanlah kedalaman ilmu agama kepadanya dan ajarkanlah takwil kepadanya”

B. Faktor munculnya tafsir bi-Ra’yi
Adapun faktor yang mendorong timbulnya tafsir Bir-Ra’yi adalah:
1. Mereka yang menggunakan Ra’yi dikarenakan mereka tidak menemukan permasalahan tersebut dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw.
2. Berniat memperluas dan menafsirkan apa-apa yang belum jelas atau yang masih dangkal pengertiannya.
3. Berniat mengaktualisasikan ajaran Al-Qur’an sesuai dengan masa dan tempat.
4. Sudah berkembangnya ilmu nahwu, lughah, balaghah, kalam, kaidah-kaidah ushul, musthalah, ilmu hikmah, falsafah dan mantiq.
5. Perbedaan antara mufassir yang satu dengan yang lain, baik dari segi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, pendidikan, tempat dan masa.
6. Hasil dialektika historis pada pasca nabi wafat, memunculkan banyak persoalan. Banyaknya persoalan tersebut menuntut kaum muslimin untuk menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an, maka mereka melakukan ijtihad dengan akal mereka.

C. Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi
Terjadinya ikhtilaf pada ranah tafsir ini memiliki kuantitas yang jauh lebih banyak dari ranah sebelumnya (tafsir bil-ma’tsur). Ini tidaklah mengherankan, sebab landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitasnya berbeda-beda pada setiap mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi dalam jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
1. Meyakini makna (baca: ide) tertentu sebelum menafsirkan al-Qur’an, lalu kemudian membawa lafazh-lafazh qur’ani kepada makna yang telah diyakini sebelumnya itu.
Ada orang yang sebelumnya telah “tertawan” oleh keyakinan atau ide tertentu, lalu kemudian berusaha mencari pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur’an. Usaha itu kemudian nampak sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan, karena kesimpulan yang lahir kemudian bukanlah kesimpulan yang tercakup dalam teks-teks al-Qur’an, tetapi kesimpulan yang dipaksa-paksakan untuk masuk kedalamnya.
Salah satu contoh paling jelas misalnya apa yang dilakukan kelompok Bathiniyah saat menafsirkan surah Yusuf, ayat 4:
              
(ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku[742], Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang dimaksud dengan ‘Yusuf’ tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn Abi Thalib...dimana Husain berkata kepada ayahnya pada suatu ketika, ‘Sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam..”

2. Menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia.
Dengan kata lain, para penempuh metode ini hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an. Seperti saat memahami ayat

 •                                
Artinya: Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu[642] adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.(QS. At-taubah:37)

Kata “al-Nasi’” bila ditinjau dari sudut bahasa saja adalah “al-ta’khir” atau pengakhiran. Tapi dengan membaca kisah ayat ini kita dapat memahami bahwa yang dimaksud adalah pengakhiran bulan-bulan haram dan menghalalkan apa yang diharamkan di dalamnya.
Hal inilah yang menyebabkan Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210H) -misalnya- menuai kritik, termasuk dari ulama sezamannya, seperti: al-Ashma’iy, Abu Hatim al-Sijistany, al-Farra’ dan al-Thabary. Sebabnya tidak lain karena ia hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa mempertimbangkan asbab al-nuzul dan hal-hal lain yang mengitarinya.
Para sahabat merasa gelisah. “Siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat zhalim?” tanya mereka. Ini berarti ketika ayat ini turun, mereka serta memahaminya dari sudut kebahasaan saja. Sampai akhirnya Rasulullah saw menjelaskan bahwa “kezhaliman” dalam ayat ini tidak seperti yang mereka pahami, karena yang dimaksud adalah kesyirikan. Seperti yang terdapat dalam surah Al-Luqman, ayat 13:
              
Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Kisah ini setidaknya menunjukkan 2 hal penting:
- Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode yang “sah-sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
- Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqly-lah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an.
Akhirnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam kategori ikhtilaf tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah dalam Islam adalah merupakan bukti nyata akan hal ini.
D. Perdebatan di sekitar tafsir bi ar-Ra’yi
Para ulama berbeda pendapat dalam menanggapi masalah boleh tidaknya menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad.. ada yang melarang dan ada yang membolehkan:
1. Alasan golongan yang melarang.
a. Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan.Dengan demikian hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata. Pada hal Allah berfirman.QS.Al-Isra’:36
        •         
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

b. Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an hanyalah Nabi.QS.An-Nahl:44
       ••      
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,

c. Rasulullah SAW bersabda:
من قال قى القران برأيه أوبما لا يعلم قليتبوأ مقعده من النار
d. Adanya tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an.

2. Alasan golongan yang membolehkan atau membolehkan
a. Banyak ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan Al-Qur’an.contohnya.
      
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci (Qs. Muahammad: 24)
                     
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri (Qs. An-Nisa’: 83)

b. Nabi tidak menjelaskan setiap ayat Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
c. Para sahabat sering berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yi-nya. Seandainya tafsir bir ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
d. Rasulullah pernah berdo’a untuk Ibn ‘Abbas. Doa tersebut berbunyi:
اللهم فقه فى الدين وعلمه التأويل
“ Ya Allah, berilah pemahaman agama kepada Ibn ‘Abbas dan ajarilah ia takwil “

E. Tafsir bi Ar-Ra’yi yang tidak diterima
Di antara contoh tafsir yang tidak diterima adalah sebagai berikut:
a. Penafsiran golongan Syia’ah terhadap kata al-Baqarah ayat 67 dengan Aisyah
b. Penafsiran sebagian mufassir terhadap surat Al-Baqarah ayat 74.
            •        •        •            
“Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah”.
Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara dan jatuh karena Allah, seperti teks di atas.
c. Penafsiran sebagian mufassir terhadap ayat An-Nahl ayat 68:
            
”Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia"
Mereka berpendapat bahwa di antara lebah-lebah itu, ada yang diangkat sebagian nabi yang diberi wahyu oleh Allah. Kemudian mereka mengemukakan cerita-cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu sebagian lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah tersebut menggunakan tetesan lilin itu untuk membuat sarang-sarang dan madu.
d. Penafsiran sebagian orang terhadap surat Ar-Rahman ayat 33
                
Hai Jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.
Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuan mendarat di bulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu mengandung pengertian demikian.
e. Penafsiran sebagian orang terhadap surat Al-Humazah Ayat 6 – 7:
        
(yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, Yang (membakar) sampai ke hati.
Mereka berpendapat ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil di temukan pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka menyeret ayat si atas pada makna yang tidak mungkin jika dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

F. Tafsir bi Ar-Ra’yi yang dapat di percaya
a. Mafatih Al-Ghalib, karya Fakhr Ar-Razi (w. 606 h)
b. Anwar At-Tanzil wa Asar At-Takwil, karya Al-Baidhawi (w. 691 h)
c. Madarik At-Tanzil wa Haqa’iq At-Takwil, karya An-Nasafi (w. 701 h)
d. Lubab At-Takwil fi Ma’ani At-Takwil, karya Al-Khazim (w. 741 h)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh Penafsir al-Qur’an berdasarkan Ra’yu, syarat-syarat pokok itu berkisar di sekitar empat soal, yaitu:
- Berpegang pada hadits-hadits berasal dari rasul SAW dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif dan maudhu’
- Berpegang pada ucapan sahabat nabi karena apa yang mereka katakan, menurt peristilahan hadits hukumnya mutlak marfu’ (sahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat (ar-ra’yu)
- Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa Arab dan harus tetap berhati-hati jangan sampai menafsirkan ayat-ayat menyimpang dari makna lafadz yang semestinya, sebagaimana banyak terdapat di dalam pembicaraan orang-orang Arab
- Berpegang teguh pada maksud ayat dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara’. Itulah yang dimaksud Rasulullah alam doa beliau bagi Ibnu Abbas, yaitu: “Ya Allah, Limpahkanlah kedalaman ilmu agama kepadanya dan ajarkanlah takwil kepadanya”

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Rosihon, Ilmu Tafsir, CV. Pustaka Setia, Bandung: 2005
Dr. Subhi as-Shalih, Membahas tentang ilimu-ilmu al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta:2004
http://almakmun.com/?p=347, Memahami Tafsir bi Ra’yi, di post pada tanggal 14 Juni 2010
http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item, Ikhtilaf Ulama dalam Tafsir Al-Qur’an, di post pada tanggal 14 Juni 2010