header ads
WHAT'S NEW?
Loading...
Kewalian Dalam Dunia Tasawuf
 Ada orang bertanya apakah memang ada wali itu?[1] Jawabnya memang ada. Wali adalah sebutan bagi seseorang yang suci karena telah mencapai ma’rifat,[2] bila mengacu pada al-Qur’an (Yunus, ayat 62-64) kriteria kewalian itu adalah iman dan taqwa, dengan sudah terpenuhi dua kriteria tersebut, berarti seseorang berhak menyandang predikat wali. Apakah sesederhana itu? Menurut Dr. Asep Usman Ismail, kriteria kewalian dengan kadar keimanan dan ketaqwaan yang baru standar, barulah memenuhi konsep kewalian secara umum, untuk tidak mengaburkan istilah wali yang demikian, tentunya kita haruslah mengenal Allah SWT melalui penyelesaian mata batinnya, dan pada level ini pun masih bertingkat-tingkat kewaliannya.
Qawaid al-Kulliyah
Dengan mempertimbangkan hukum positif yang berlaku serta adat kebiasaan yang dianut masyarakat dan hasil kajian historis-sosiologis maka perlu sekali dikembangkan konsep-konsep hukum yang Islami yang bersumberkan pada al-Qur’an, hadits Rasulullah yang shahih sebagai sumber naqli ilmu pengetahuan hukum, sebagai sumber ijtihadi serta hasil musyawarah dari para ahlinya. Bagi kita yang sekarang sedang melaksanakan pembangunan, maka pengkajian konsep Islam tentang tata hukum dan perkembangan fiqih akan dapat memberikan bahan masukan dapat menghadapi tantangan masa depan pembangunan termasuk dampak negatif dalam bidang kemasyarakatan yang menyertainya.
Ilmu I’jazul Qur’an
Allah telah menganugerahkan kepada manusia berbagai keistimewaan dan kelebihan, serta memberinya kekuatan pikiran cemerlang, yang dapat menembus segala medan untuk menundukkan unsur-unsur kekuatan alam tersebut dan menjadikannya sebagai pelayan bagi kepentingan kemanusiaan.
Allah sama sekali tidak menelantarkan manusia, tanpa memberi kepadanya sebersit wahyu dari waktu ke waktu, yang membimbingnya ke jalan petunjuk, sehingga mereka dapat menempuh liku-liku hidup dan kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahuan. Namun mengingat akal manusia pada awal fase perkembangannya tidak melihat sesuatu yang lebih dapat menarik hati selain mukjizat-mukjizat alamiah yang hissi (indrawi), karena akal mereka belum mencapai puncak ketinggian dalam bidang pengetahuan dan pemikiran.
Allah telah menentukan keabadian mukjizat Islam, sehingga kemampuan manusia menjadi tak berdaya menandinginya, pembicaraan tentang kemukjizatan al-Qur’an juga merupakan satu macam mukjizat tersendiri, dengan demikian marilah kita belajar mengenai i’jazul Qur’an berikut ini.
Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di Thus pada tahun 450 H (1034 M), dan meninggal dunia pada tahun 550 H (1111 M). Ia kemudian dikenal dengan julukan Hujjatul Islam. Julukan ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya, serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam Islam sendiri.
Di masa remajanya beliau di Thus, beliau belajar fiqih dari Syaikh Ahmad ar-Razkani, kemudian meneruskan pelajarannya di Jurjan. Di sana beliau berguru pada Syaikh Imam Abu Nasir Ismail. Kemudian beliau kembali ke Thus. Selama tiga tahun beliau tinggal di Thus untuk merenung, berpikir dan menghafalkan semua pelajaran yang didapatnya dari Jurjan.
Kemudian beliau pergi ke Naisabur, disana beliau berguru kepada Imamul Haramain hingga beliau menguasai benar-benar baik fiqih asy-Syafi’i, mengetahui perbedaan pendapat, perdebatan, ushuluddin, ushul fiqih, ilmu mantiq, ilmu hikmah dan filsafat.
Dalam bidang tasawuf al-Ghazali membawa faham al-Ma’rifah. Namun faham al-ma’rifahnya ini berbeda dengan al-ma’rifah yang dibawa oleh Zunnun al-Misri, dan karena jasa al-Ghazali lah tasawuf dapat diterima dikalangan ahli syari’at.

Bagaimana Menyusun Proposal Penelitian?


Pendahuluan
Salah satu kesulitan yang dialami mahasiswa di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh baik S1 maupun Pascasarjana yang hendak menyelesaikan pendidikannya adalah membuat karya akhir (dikenal dengan Skripsi untuk S1 dan Thesis untuk S2). Maka tidak heran kalau banyak mahasiswa yang mampu menyelesaikan matakuliah tepat waktu (3,5 tahun) namun butuh waktu yang sama untuk menulis “enampuluhan halaman dua spasi” untuk skripsi atau thesis. Terlihat mereka stress dengan “sulitnya” menyusun karya ilmiah yang satu ini. Sehingga tidak jarang kalau ada di antara mahasiswa “nakal” yang mengupah membuat karya akhir kepada orang lain agar ia terbebas dari kesulitan tersebut.
Kesulitan melakukan penelitian bukan hanya pada praktik penelitian itu sendiri, namun dimulai sejak mengidentifikasi masalah penelitian dan membuat proposal penelitian yang baik. Dalam pergaulan sehari-hari sering terdengar ungkapan: “bi masalah ile saboh” (berikan saya satu masalah penelitian). Hal ini terjadi karena begitu sulit bagi mereka untuk merumuskan masalah penelitian. Masalah penelitian dianggap menjadi beban besar dan berat sehingga membuat mereka tidak mampu melanjutkan ke tahapan perikutnya yakni menyusun proposal penelitian. Padahal, tanpa masalah penelitian, maka penelitian tidak akan pernah ada.
Dalam tulisan ini saya mencoba memaparkan secara ringkas bagaimana menyusun sebuah proposal penelitian. Proposal penelitian merupakan langkah awal dari tahapan panjang penelitian yang akan dilakukan mahasiswa dalam melakukan penelitian. Semua mahasiswa yang akan menyelesaikan pendidikannya pasti akan berhadapan dengan tahapan menyusun proposal penelitian. Proposal ini yang nantinya akan dinilai oleh sebuah tim dan akan direkomendasikan untuk dilakukan penelitian oleh mashaiswa yang bersangkutan. Dalam makalah ini saya akan masukkan beberapa tips (dari pengalaman selama ini) yang mudah-mudahan bisa diikuti oleh para mashasiswa dalam mendapatkan masalah dan lalu merumuskannya menjadi sebuah masalah penelitian. Dalam penelitian dikenal sebuah ungkapan, “proposal yang baik adalah setengah dari penelitian.” Semakin baik proposal anda, maka penelitian yang akan anda lakukan juga akan semakin mudah sehingga dapat selesai tepat waktu dan mendapatkan hasil sebagaimana anda harapakan.
PERTAMA : QADAR
Qadar, menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari qadara-yaqdaru-qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran). [1]
Ibnu Faris berkata, “Qadara: qaaf, daal dan raa’ adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir/puncak segala sesuatu. Maka qadar adalah: akhir/puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu akhirnya. Demikian pula al-qadar, dan qadartusy syai’ aqdi-ruhu, dan aqduruhu dari at-taqdiir.” [2]
Qadar (yang diberi harakat pada huruf daal-nya) ialah: Qadha’ (kepastian) dan hukum, yaitu apa-apa yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla dari qadha’ (kepastian) dan hukum-hukum dalam berbagai perkara
.
Takdir adalah: Merenungkan dan memikirkan untuk menyamakan sesuatu. Qadar itu sama dengan Qadr, semuanya bentuk jama’nya ialah Aqdaar. [3]
Qadar, menurut istilah ialah: Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya. [4]
Atau: Sesuatu yang telah diketahui sebelumnya dan telah tertuliskan, dari apa-apa yang terjadi hingga akhir masa. Dan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menentukan ketentuan para makhluk dan hal-hal yang akan terjadi, sebelum diciptakan sejak zaman azali. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengetahui, bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan dengan sifat-sifat ter-tentu pula, maka hal itu pun terjadi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya. [5]
Atau: Ilmu Allah, catatan (takdir)-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu tersebut.