header ads
WHAT'S NEW?
Loading...

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Malu dan Maha Pemurah. Allah malu jika ada seseorang yang menengadahkan kedua tangan kepada-Nya tapi kemudian menolaknya dengan tangan hampa” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Hadits tersebut menggambarkan bahwa Allah senantiasa mengabulkan do’a hamba-Nya yang memohon kepada-Nya. Ada beberapa bentuk pengabulan do’a, yaitu dikabulkan di dunia, ditangguhkan sampai hari kiamat, dan sebagai penangkal kejelekan yang mungkin akan menimpa seorang hamba1. Akan tetapi, do’a akan dikabulkan hanya jika syaratnya terpenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah:
Pertama, ikhlas. Ibnu Katsir mengatakan bahwa setiap orang yang beribadah dan berdo’a hendaknya dengan ikhlas serta menyelisihi orang-orang musyrik dalam cara dan madzhab mereka2.
Kedua, ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk dalam segala bentuk ibadah.  Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al Ahzaab 21)
Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.
Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh[2]. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih.
Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3]
Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah: (1) untuk berkasih sayang dengan orang miskin, yaitu mencukupi mereka agar jangan sampai meminta-minta di hari ‘ied, (2) memberikan rasa suka cita kepada orang miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari ‘ied, dan (3) membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang sia-sia dan kata-kata yang kotor yang dilakukan selama berpuasa sebulan.[4]
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[5]
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Bahkan Ishaq bin Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya zakat fithri seperti ada ijma’ (kesepakatan ulama) di dalamnya[6]. Bukti dalil dari wajibnya zakat fithri adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.[7]
Perlu dipehatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (kebiasaan yangg ada). [8]
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim karena untuk menutupi kekurangan puasa yang diisi dengan perkara sia-sia dan kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri.
Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini yang disebut ghoni (berkecukupan) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seukuran makanan yang mengenyangkan untuk sehari-semalam. [9][10]
Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya.[11] Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah suami.[12]
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Inilah yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.[13] Alasannya, karena zakat fithri berkaitan dengan hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.[14]
Misalnya, apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakat fithri. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana terdapat perbuatan dari Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan zakat fithri untuk janin. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya.
Bentuk Zakat Fithri
Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama Hanabilah yang membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu kurma dan gandum). Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, tidak dibatasi hanya pada dalil.[15]
Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti ini. Allah Ta’ala berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
Maka kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al Maidah: 89). Zakat fithri pun merupakan bagian dari kafaroh karena di antara tujuan zakat ini adalah untuk menutup kesalahan karena berkata kotor dan sia-sia.[16]
Ukuran Zakat Fithri
Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah satu sho’ dari semua bentuk zakat fithri kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sho’.[17] Dalil dari hal ini adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan bahwa zakat fithri itu seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Dalil lainnya adalah dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1 sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.”[18] Dalam riwayat lain disebutkan,
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ
Atau 1 sho’ keju.”[19]
Satu sho’ adalah ukuran takaran yang ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama berselisih pendapat bagaimanakah ukuran takaran ini. Lalu mereka berselisih pendapat lagi bagaimanakah ukuran timbangannya.[20] Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang[21]. Ukuran satu sho’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg.[22] Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sho’ kira-kira 2,157 kg.[23] Artinya jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah dianggap sah. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh menyalurkan zakat fithri dengan uang yang senilai dengan zakat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya hal ini. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti dengan uang.
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Abu Daud mengatakan,
قِيلَ لِأَحْمَدَ وَأَنَا أَسْمَعُ : أُعْطِي دَرَاهِمَ - يَعْنِي فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ - قَالَ : أَخَافُ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ خِلَافُ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
“Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh seseorang, “Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah. Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad berkata padanya,
لَا يُعْطِي قِيمَتَهُ
Tidak boleh menyerahkan zakat fithri dengan uang seharga zakat tersebut.”
Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad,
قِيلَ لَهُ : قَوْمٌ يَقُولُونَ ، عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ يَأْخُذُ بِالْقِيمَةِ ، قَالَ يَدَعُونَ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقُولُونَ قَالَ فُلَانٌ ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si fulan telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum ...).[24]” Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”[25] Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan demikian”.”[26]
Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (pernah menjabat sebagai Ketua Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi Fatwa Saudi Arabia), memberikan penjelasan:
“Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita.”[27]
Penerima Zakat Fithri
Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak diberikan zakat fithri. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fithri disalurkan pada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60[28]. Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir miskin saja.[29] Karena dalam hadits disebutkan,
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.”
Alasan lainnya dikemukan oleh murid Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk bahwa zakat fithri hanya khusus diserahkan pada orang-orang miskin dan beliau sama sekali tidak membagikannya pada 8 golongan penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan untuk menyerahkannya pada 8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang sahabat pun yang melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang setelahnya.”[30] Pendapat terakhir ini yang lebih tepat, yaitu zakat fithri hanya khusus untuk orang miskin.
Waktu Pengeluaran Zakat Fithri
Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar.[31]
Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[32]
Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ - رضى الله عنهما - يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya 'Idul Fithri.”[33]
Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata,
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
“’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.”[34]
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada pula yang berpendapat boleh ditunaikan satu atau dua tahun sebelumnya.[35] Namun pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini, dikarenakan zakat fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul Fithri), maka tidak semestinya diserahkan jauh hari sebelum hari fithri. Sebagaimana pula telah dijelaskan bahwa zakat fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri. Jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari ‘ied.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. ... Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”[36]
Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat ‘Ied?
Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah shalat ‘ied tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Inilah yang menjadi pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar fikih sepakat bahwa zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini masih harus dikeluarkan. Zakat tersebut masih menjadi utangan dan tidaklah gugur kecuali dengan menunaikannya. Zakat ini adalah hak sesama hamba yang mesti ditunaikan.[37]
Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menyerahkan zakat fithri kepada suatu lembaga zakat, maka sudah seharusnya memperhatikan hal ini. Sudah seharusnya lembaga zakat tersebut diberi pemahaman bahwa zakat fithri harus dikeluarkan sebelum shalat ‘ied, bukan sesudahnya. Bahkan jika zakat fithri diserahkan langsung pada si miskin yang berhak menerimanya, maka itu pun dibolehkan. Hanya Allah yang memberi taufik.
Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?
Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia mendapati waktu fithri (tidak berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan sebab wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri.[38]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278.
[2] Al Majmu’, 6/103.
[3] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278 dan Minhajul Muslim, 230.
[5] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[7] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[8] Lihat Shifat Shaum Nabi, 102.
[9] HR. Abu Daud no. 1435 dan Ahmad 4/180. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/80-81.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/595.
[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59.
[13] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[14] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[15] Shahih Fiqh Sunnah, 2/82.
[16] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/69.
[17] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[18] HR. Bukhari no. 1508 dan Muslim no. 985.
[19] HR. Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985.
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8286.
[21] Lihat Al Qomush Al Muhith, 2/298.
[22] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/202.
[23] Lihat pendapat Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/83.
[24] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[25] QS. An Nisa’ ayat 59.
[26] Lihat Al Mughni, 4/295.
[27] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211
[28] Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).
[29] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
[30] Zaadul Ma’ad, 2/17.
[31] Lihat Minhajul Muslim, 231.
[32] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[33] HR. Bukhari no. 1511.
[34] HR. Malik dalam Muwatho’nya no. 629 (1/285).
[35] Lihat pendapat berbagai ulama dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284 dan Al Mughni, 5/494.
[36] Al Mughni, 4/301.
[37] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[38] Misalnya, seseorang yang kesehariannya biasa di Jakarta, sedangkan ketika malam Idul Fithri ia berada di Yogyakarta, maka zakat fithri tersebut ia keluarkan di Yogyakarta karena di situlah tempat ia mendapati hari fithri. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.

Assalamuâalaikum wr wb,
Tgk H Faisal Ali Yth, Saya pernah mendengar salah seorang penceramah, katanya wanita yang sedang berhaid dilarang makan/minum pada bulan ramadhan, memang wanita yang haid tidak dapat pahala puasa tapi pahala imsak, bagaimana sebenarnya hukum wanita haid didalam bulan ramadhan. Terima kasih.
Fitri, langsa.

Wa'alaikumussalam wr wb.
Saudari Fitri yang di kasihi Allah swt, pertama-tama pengasuh mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa, semoga Allah melimpahi daerah kita ini dengan rahmat dan ampunannya amin.

Ummat islam di seluruh dunia sekarang ini sedang melakukan salah satu ibadah wajib yang permulaan di syariatkannya adalah pada bulan syakban tahun kedua hijriyah.

Dalam puasa seorang Muslim dididik untuk menghindari segala perbuatan yang tercela. Dapat mengendalikan lidahnya dari mengeluarkan kata-kata kotor, kata yang menyinggung orang lain, atau menggunjingkan orang lain.

Banyak sekali sebutan-sebutan yang melekat pada Bulan ramadhan ini yang menunjuki pada keunggulan dari sudut masing-masing nama tersebut, ada sebutan dengan sayyidus syuhur, atau panglimanya bulan, karena kelebihan dan keagungannya tidak terdapat pada bulan yang lain. Ramadhan dengan kekhususan ibadah didalamnya, maka ia disebut dengan syahrul ibadah, atau bulan ibadah”.

Didalam bulan Ramadhan ada ibadah wajib khusus yaitu puasa pada siang harinya, dan ada ibadah sunnat khusus yaitu shalat taraweh diwaktu malam hari, dan ada juga amal keihsanan yang sangat di tuntut juga untuk kita lakukan sesama hamba Allah,seperti: bersedekah pada fakir miskin, menyediakan menu berbuka puasa, dan lain-lain.

Rasulullah saw bersabda ”Siapa saja yang memberi makan untuk berbuka puasa, bagi orang yang berpuasa, maka kepadanya diberikan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Dan orang yang memberikan makanan berbuka puasa, baginya pahala sama dengan pahala orang puasa itu, sedangkan ia tidak mengurangi pahala orang yang puasa sedikitpun.”(HR.Turmuzi).

Kewajiban berpuasa di bulan ini adalah ajang pemanasan untuk menuju arena ketaqwaan, yang selanjutnya menjadi ummat yang muttaqin, yaitu orang yang dalam prinsip kehidupannya tidak mempedulikan status sosial, mereka peka dengan problematika teman, kawan, dan lainnya.

Hamba Allah yang budiman, setiap kita melakukan amal ibadah atau lainnya kita perlu memahami kewajiban-kewajibannya dan hal lain yang behubungan dengan amal tersebut.

Pekerjaan apapun yang kita kerjakan tanpa Ilmu pengetahuan, tidak mendapat imbalan sedikitpun dari amal kita itu. Amal ibadah puasa yang sedang kita jalani ini perlu kita tingkatkan kwalitasnya agar puasa kita sampai kelevel kedua yaitu puasa khawas.

Puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga akan tetapi dalam berpuasa perlu juga kita mengendalikan seluruh anggota badan bahkan getaran hatipun dari virus-virus yang mengurangi bahkan menghilangkan pahala puasa itu. Adapun yang dapat membatalkan puasa, antara lain:

1. Makan dan minum dengan sengaja.
2. Melakukan hubungan badan pada waktu siang hari.
3. Mengeluarkan air mani (onani/masturbasi).
4. Muntah dengan sengaja
5. Berhaid dan Nifas.
6. Gila, walaupun hanya sebentar.
7. Membatal niat berpuasa, tidak meneruskan berpuasa.

Wanita yang berhaid dan Nifas, dilarang berpuasa serta tidak wajib Imsak, tetapi wajib mengqadhakannya. Imsak yang dimaksudkan disini adalah menahan diri dari makan dan minum saja.

Tersebut didalam kitab Umairah Juz II, Hal 65,”Orang musafir dan telah menetap atau sampai tujuannya sesudah membuka puasa, dan orang sakit yang sembuh sesudah membuka puasa tidak diwajibkan Imsak pada separuh hari lagi, Dan sangat tidak diwajibkan Imsak bagi orang yang berhaid dan nifas apabila berhenti darah keduanya pada siang hari,”.

Tersebut didalam kitab Ianatuth Thalibin, Juz II, Hal 238,”Disunatkan Imsak bagi orang Haid dan Nifas yang suci darahnya pada siang hari,”.
Keterangan yang sama dengan diatas dapat kita lihat juga dalam kitab Al-Iqnak, Hal 245, dan kitab Bujairimi Alal Khathib, Juz II, Hal 4 vcfdcxc02.

Dari beberapa keterangan diatas dapat kita pahami hal-hal sebagai berikut:
Wanita berhaid dan nifas haram berpuasa sekaligus juga tidak sah, adapun Imsak bagi wanita yang sedang berhaid dan nifas tidak wajib dan juga tidak disunatkan.

Wanita yang darah haid dan nifasnya berakhir pada awal-awal hari maka disunnatkan Imsak baginya hingga sampai waktu berbuka puasa. Hasbunallah wanikmal wakil Nikmal maula wanikmal Nashir, wahdina ila syirathil mustaqim.Wassalam.
Sumber:http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=1061&tit=Berita%20Utama%20-%20IMSAK%20WANITA%20BERHAID
I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr.

Pengajian Ramadhan : I'tikaf
I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda :

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر من رمضان ، متفق عليه .

" Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, Rasulullah saw. biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

عن أبي هريرة رضى الله عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما ـ رواه البخاري.

"  Dari Abu Hurairah R.A. ia berkata, Rasulullah SAW. biasa beri'tikaf pada tiap bulan Ramadhan sepuluh hari, dan tatkala pada tahun beliau meninggal dunia beliau telah beri'tikaf selama dua puluh hari. (Hadist Riwayat Bukhori).

 Sebagian ulama mengatakan bahwa ibadah I'tikaf hanya bisa dilakukan dengan berpuasa.

Tujuan I'tikaf.

1. Dalam rangka menghidupkan sunnah sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam rangka pencapaian ketakwaan hamba.

2. Sebagai salah satu bentuk penghormatan kita dalam meramaikan bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan rahmat dari Allah swt.

3. Menunggu saat-saat yang baik untuk turunnya Lailatul Qadar yang nilainya sama dengan ibadah seribu bulan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat 97:3.

4. Membina rasa kesadaran imaniyah kepada Allah dan tawadlu' di hadapan-Nya, sebagai mahluk Allah yang lemah.

Rukun I'tikaf.

I'tikaf dianggap syah apabila dilakukan di masjid dan memenuhi rukun-rukunnya sebagai berikut :

1. Niat. Niat adalah kunci segala amal hamba Allah yang betul-betul  mengharap ridla dan pahala dari-Nya.

2. Berdiam di masjid. Maksudnya dengan diiringi dengan tafakkur, dzikir, berdo'a dan lain-lainya.

3. Di dalam masjid. I'tikaf dianggap syah bila dilakukan di dalam masjid, yang biasa digunakan untuk sholat Jum'ah. Berdasarkan hadist Rasulullah saw.

" ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع ـ رواه أبو داود.

"Dan tiada I'tikaf kecuali di masjid jami' (H.R. Abu Daud)

4. Islam dan suci serta akil baligh.

Cara ber-I'tikaf.

1. Niat ber-I'tikaf karena Allah. Misalnya dengan mengucapkan : Aku berniat I'tikaf karena Allah ta'ala.

نويت الاعتكاف لله تعالى

2. Berdiam diri di dalam masjid dengan memperbanyak berzikir, tafakkur, membaca do'a, bertasbih dan memperbanyak membaca Al-Qur'an.

3. Diutamakan memulai I'tikaf setelah shalat subuh, sebagaimana hadist Rasulullah saw.

وعنها رضى الله عنها قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفة "ـ متفق عليه .

"Dan dari Aisyah, ia berkata bahwasannya Nabi saw. apabila hendak ber-I'tikaf beliau shalat subuh kenudian masuk ke tempat I'tikaf. (H.R. Bukhori, Muslim)

4. Menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak berguna. Dan disunnahkan memperbanyak membaca:

أللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عنا

Ya Allah sesungguhnya Engkau Pemaaf, maka maafkanlah daku.

Waktu I'tikaf.

1. Menurut mazhab Syafi'i I'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu apa saja, dengan tanpa batasan lamanya seseorang ber-I'tikaf. Begitu seseorang masuk ke dalam masjid dan ia niat I'tikaf maka syahlah I'tikafnya.

2. I'tikaf dapat dilakukan selama satu bulan penuh, atau dua puluh hari. Yang lebih utama adalah selama sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan sebagaimana dijelaskan oleh hadist di atas.

Hal-hal yang membatalkan I'tikaf.

1. Berbuat dosa besar.

2. Bercampur dengan istri.

3. Hilang akal karena gila atau mabuk.

4.Murtad (keluar dari agama).

5. Datang haid atau nifas dan semua yang mendatangkan hadas besar.

6. Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak atau uzur, karena maksud I'tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan tujuan hanya untuk ibadah.

7. Orang yang sakit dan  membawa kesulitan dalam melaksanakan I'tiakf.

Hikmah Ber-I'tikaf .

1. Mendidik diri kita lebih taat dan tunduk kepada Allah.

2. Seseorang yang tinggal di masjid mudah untuk memerangi hawa nafsunya, karena masjid adalah tempat beribadah dan membersihkan  jiwa.

3. Masjid merupakan madrasah ruhiyah yang sudah barang tentu selama sepuluh hari ataupun lebih hati kita akan terdidik untuk selalu suci dan bersih.

4. Tempat dan saat yang baik untuk menjemput datangnya Lailatul Qadar.

5. I'tikaf adalah salah satu cara untuk meramaikan masjid.

6. Dan ibadah ini adalah salah satu cara untuk menghormati bulan suci Ramadhan.

Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” [Al-Baqarah : 183]

Namun ada perbedaan antara puasa Ahli Kitab dengan puasa kaum muslimin sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya.

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ ».
Dari Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam bersabda: “Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur” [HR. Muslim, no. 1096]

Hadits Nabi ini menunjukkan kedudukan yang penting tentang sahur di dalam ibadah puasa. Oleh karena itu di dalam edisi ini akan kami sampaikan sedikit keterangan tentang adab dan hukum seputar sahur.


1. Makna Sahuur.

Secara bahasa sahuur artinya: makanan atau minuman di waktu sahar. Sedang sahar artinya akhir malam sebelum subuh. Adapun suhuur adalah perbuatannya. Kebanyakan riwayat dengan sahuur, ada yang mengatakan: yang benar adalah suhuur, karena sahuur adalah makanan dan berkah, sedangkan pahalanya adalah di dalam melakukannya. (Diringkas dari kitab Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 24/269)


2. Perintah Melakukan Sahuur.

أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً »
Dari Anas bin Malik, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kamu  makan sahur, karena sesungguhnya di dalam sahur terdapat barakah “ [Hadits Riwayat Bukhari, no. 1923]

Imam Ibnul Mundzir berkata, “(Ulama) ijma’ bahwa sahuur hukumnya mustahab (dianjurkan)”.


3. Jangan Tinggalkan Walau Hanya Seteguk Air.

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى المُتَسَحِّرِينَ »
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya menelan seteguk air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur”. (HR. Ahmad, no. 11384; 11706; dan Ibnu Abi Syaibah)

4. Sebaik-baik Sahur Adalah Korma.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ ». د 2347, وابن حبان و البيهقي وهو صحيح
Dari Abu Huroiroh, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma”. (HR. Abu Dawud, no. 2347; Ibnu Hibban; dan Al-Baihaqi)

5. Anjuran Mengakhirkan Sahur
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ – رضى الله عنه – قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ . قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً .
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat”.
(Anas bertanya kepada Zaid bin Tsabit): “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “Kira-kira (membaca) 50 ayat (Al-Qur’an)”.(HR. Bukhari, no. 1921 dan Muslim, no. 1097)

‘Amr bin Maimun Al-Audi berkata:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاسِ إِفْطَارًا وَأَبْطَأَهُمْ سَحُوْرًا
Dahulu para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling segera berbuka dan paling lambat sahuur. (Riwayat Abdurrozaq di dalam Al-Mushonnaf 4/226, no. 7591; dishohihkan oleh Al-Hafizh di dalam Al-Fath dan Al-Haitsami di dalam Al-Majma’, hlm. 62)

6. Akhir Waktu Sahuur Adalah Terbit Fajar Shodiq Dengan Terang
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا اَلْأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحَرِّمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ, فَأَمَّا اَلثَّانِي فَإِنَّهُ يُحَرِّمُ الطَّعَامَ وَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ
Fajar (cahaya menjelang matahari terbit) ada dua: yang pertama tidak mengharamkan makanan dan tidak menghalalkan sholat. Yang kedua mengharamkan makanan dan menghalalkan sholat.(HR. Ibnu Khuzaimah 3/210; Al-Hakim 1/191, 495; Daruquthni 2/165; Baihaqi 4/261; sanadnya shohih. Dinukil dari Sifat Shoum Nabi, hlm: 36-37, karya syaikh Ali Al-Halabi dan syaikh Salim Al-Hilali)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا يَغُرَّنَّكُمْ مِنْ سَحُورِكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ وَلَا بَيَاضُ الْأُفُقِ الْمُسْتَطِيلُ هَكَذَا حَتَّى يَسْتَطِيرَ هَكَذَا
Janganlah adzan Bilal menghalangi kamu dari sahur kamu, dan jangan pula menghalangi kamu warna putih memanjang di ufuk begini (yaitu vertikal) sampai warna putih itu menyebar begini (yaitu horisontal). (HR. Muslim, no: 1094)

Imam Nawawi rohimahulloh berkata: Para sahabat kami berkata: ” Fajar ada dua: pertama disebut fajar awal dan fajar kadzib (dusta), yang lain disebut fajar kedua dan fajar shodiq (benar). Fajar pertama muncul memanjang ke arah langit, seperti ekor srigala, kemudian itu hilang beberapa waktu.  Kemudian muncul fajar kedua menyebar lebar di ufuq. Sahabat-sahabat kami mengatakan:  Semua hukum-hukum berkaitan dengan fajar kedua: padanya waktu subuh masuk, waktu isya’ habis, masuk di dalam puasa, makanan dan minuman haram bagi orang yang berpuasa. Dengannya malam berakhir, dan masuk siang. Hukum-hukum tidaklah berkaitan dengan fajar yang pertama dengan ijma umat Islam”.  *)*)Al-Majmu’ 3/44]

7. Apa Yang Dilakukan, Saat Makan Sahuur Lalu Mendengar Adzan Subuh?
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ».
Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian mendengar adzan, sedangkan bejana (makanan) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan hajatnya (sahurnya).” (HR. Abu Dawud, no.2352 sanadnya  hasan; juga riwayat Ahmad dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih. Lihat Sifat Shoum Nabi, hlm. 38)

Dengan hadits ini kita mengetahui bahwa jadwal dan seruan imsak yang biasanya dilakukan 10 menit sebelum adzan subuh bertentangan dengan petunjuk agama Islam.

8. Bagaimana Jika Tidak Mendengar Adzan, lalu mendengar Iqomat?
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ وَالْإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ، قَالَ: أَشْرَبُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ!، فَشَرِبَهَا (بطريقين وهو صحيح)
Dari Abi Umamah, dia berkata: “Shalat (subuh) sudah diiqomati, wadah minuman masih berada di tangan Umar, dia bertanya: “Apakah aku boleh meminumnya wahai Rasulullah?” Nabi n menjawab: “Ya”. Maka Umar meminumnya. (Tafsir Thabari 3/527, no. 3017, dengan dua sanad, riwayat ini shohih)

Inilah beberapa keterangan ringkas seputar ibadah sahuur, semoga bermanfaat.
Al-hamdulillahi rabbil ‘alamiin.
Disusun oleh Ustadz Muslim Atsari
Indonesia yang penduduknya hampir 90 pesen Muslim, setiap Ramadhan tampak syi’ar Islamnya semarak. Namun belakangan menjadi rusak di antaranya karena pengaruh acara-acara televisi. Artis pemeran Nagabonar mengatakan, selama ini tayangan religius di tv-tv swasta lebih banyak digarap oleh kalangan non muslim. Pantas saja Bulan Ramadhan bukannya diisi dengan acara yang mendidik untuk ibadah yang benar, namun justru seakan dijadikan kesempatan empuk oleh orang-orang kafir itu dalam menyesatkan Ummat Islam. Kafirin dan konco-konconya itu telah berhasil menjauhkan Ummat Islam dari agamanya.

Sinden dengan pakain tidak Islami pun ditampilkan dalam acara guyonan ala ketoprakan. Pakaian sinden yang melawak itu transparan, tidak menutup aurat, yang dibalut pakaian saja kulitnya kelihatan, banyak bagian tubuh yang tak tertutupi, masih pula membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Itu dalam hadits telah dikecam tidak akan mendapatkan bau surga.

Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

Memakai pakaian-pakaian yang ketat yang memperlihatkan tonjolan kecantikan wanita dan menampakkan keindahan tubuhnya adalah perbuatan haram, karena dalam hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita berpakaian, tetapi sama juga dengan bertelanjang (karena pakaiannya terlalu minim, terlalu tipis atau tembus pandang, terlalu ketat, atau pakaian yang merangsang pria karena sebagian auratnya terbuka), berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini.” (HR Muslim – 3971)

Sabdanya,” kasiyat ‘ariyat,” telah ditafsirkan:

1. Bahwa mereka itu berpakaian dengan pakaian pendek yang tidak menutupi aurat yang harus ditutup,
2. dan ditafsirkan bahwa mereka mengenakan pakaian tipis yang tidak menutupi kulitnya dari pandangan di baliknya,
3. dan ditafsirkan juga bahwa mereka mengenakan pakaian ketat yang memang menutupi kulit dari pandangan namun tetap menampakan lekuk dan bentuk kemolekan tubuh wanita.

Demikian Syekh Utsaimin.

Imam Al-Munawi menjelaskan dalam Faidhul Qadir: Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini adalah kiasan dari 500 tahun. Artinya bau surga itu didapati (tercium bau wanginya) dari jarak perjalanan 500 tahun sebagaimana telah datang penjelasan dalam riwayat yang lain. (Faidhul Qadir juz 4 halaman 276).

Di samping acara-acara tv itu tidak Islami, masih pula selama ini menurut surabayapost.co.id tayangan religius lebih banyak digarap oleh kalangan non muslim alias orang kafir. Mana ada orang kafir yang mau menda’wahkan Islam dengan benar?!

Ketika agama Allah (Islam) sudah dijadikan bahan guyonan atau diramu dengan guyonan, itu jelas sudah penyesatan. Bahkan itulah yang dikecam Allah Ta’ala, hingga orang-orang mukmin dilarang menjadikan mereka sebagai teman dekat.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ [المائدة/57]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (QS Al-Maaidah: 57).

Allah Ta’ala juga memperingatkan:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ [لقمان

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS Luqman: 6).



Dari segi materi tayangan, yang namanya lawak atau guyonan, atau lelucon itu sendiri merupakan perbuatan yang dikecam keras oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa sekarang ini para pelawak dijadikan tontonan bahkan andalan? Dan kenapa malah dikaitkan dengan da’wah apalagi da’wah di Bulan Ramadhan? Padahal di dalam Islam, para pelawak itu adalah termasuk jenis orang yang dikecam oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan berkali-kali dinyatakan celakalah baginya, celakalah baginya…

عن بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ (الترمذي وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)

Dari Bahz bin Hakim, bahwa bapaknya telah bercerita kepadanya dari kakeknya, ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celakalah bagi orang yang berbicara dengan satu pembicaraan agar menjadikan tertawanya kaum, maka ia berdusta, celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR At-Tirmidzi, hadits hasan).
Lebih celaka lagi ketika para pelawak itu bergaya banci. Sehingga dua kecelakaan sekaligus dikecamkan kepada mereka, kecaman lantaran melawak dan kecaman karena bergaya banci. Nabi shallalahu ‘alaihi walallam melaknat banci.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمَرْأَةَ تَتَشَبَّهُ بِالرِّجَالِ وَالرَّجُلَ يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ (رواه ابن ماجة , تحقيق الألباني :حسن صحيح آداب الزفاف ( 121 )

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang menyerupai kaum laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai kaum wanita.” (HR Ibnu Majah – 1893, penelitian Al-Albani: hasan shahih)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِمُخَنَّثٍ قَدْ خَضَّبَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ بِالْحِنَّاءِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَالُ هَذَا فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ فَأَمَرَ بِهِ فَنُفِيَ إِلَى النَّقِيعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ فَقَالَ إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ
قَالَ أَبُو أُسَامَةَ وَالنَّقِيعُ نَاحِيَةٌ عَنْ الْمَدِينَةِ وَلَيْسَ بِالْبَقِيعِ (رواه أبو داود, تحقيق الألباني : صحيح ، المشكاة ( 4481 / التحقيق الثاني )

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Pernah didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seorang banci yang mewarnai kuku tangan dan kakinya dengan inai. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya: “Ada apa dengan orang ini?” para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, orang ini menyerupai wanita.” Beliau kemudian memerintahkan agar orang tersebut dihukum, maka orang itu diasingkan ke suatu tempat yang bernama Naqi’. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita membunuhnya saja?” beliau menjawab: “Aku dilarang untuk membunuh orang yang shalat.” Abu Usamah berkata, “Naqi’ adalah sebuah tempat di pinggiran Kota Madinah, dan bukan Baqi’.” (HR Abu Daud – 4280, penelitian Al-Albani: shahih)

Menurut Islam, orang yang bergaya banci sedemikian dilaknatnya. Bahkan dihukum oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anehnya, di Indonesia justru ada pelawak kebanci-bancian yang sangat laris, hingga kewalahan melayani penawaran acara televisi. Sampai-sampai di antara yang bergaya banci dan kelarisan ditawar televisi di Bulan Ramadhan itu ada yang mulutnya berucap bahwa honornya cukup untuk beli Indonesia . Astaghfirullah… sebegitu tidak normalnya dalam membiayai acara yang merusak Islam atau menyeret manusia untuk memain-mainkan hidup ini namun atas nama da’wah mengisi Ramadhan.

Benar-benar. Kondisi pertelevisian di Indonesia dalam kaitan dakwah di Bulan Ramadhan sangat memprihatinkan, bahkan menyesatkan Ummat Islam, karena hanya menonjolkan banyolan, guyon atau lawakan. Itupun masih pula dengan ucapan-ucapan yang tidak Islami, ditingkahi dengan dandanan dan gaya mereka yang tidak sesuai dengan Islam bahkan dilaknat.

sumber: http://www.facebook.com/notes/majelis-tausiah-para-kyai-ustadz-indonesia/propaganda-maksiat-dibulan-suci-kajian-/10150288417738293