Dalam daftar
hal-hal yang membatalkan wudhu, sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki
dan wanita yang bukan mahram, termasuk masalah yang diperdebatkan para ulama. Sebagian
mengatakan bahwa sentuhan itu membatalkan wudhu` dan sebagian mengatakan tidak.
Sebab perbedaan
pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى
تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pema’af lagi Maha Pengampun.”
a.
Pendapat yang
Membatalkan
Sebagian
ulama mengartikan kata MENYENTUH sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima` .
Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wudhu`.
Ulama
kalangan As-Syafi`iyah cenderung mengartikan kata MENYENTUH secara harfiyah,
sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan
mahram itu membatalkan wudhu`.
Menurut
mereka, bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan
makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada
dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan
Imam Asy-Syafi`i nampaknya tidak menerima hadits Ma`bad bin Nabatah dalam
masalah mencium.
Namun
bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi`iyah, maka
kita juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya, sebagian mereka mengatakan
bahwa yang batal wudhu`nya adalah yang sengaja menyentuh, sedangkan yang
tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh, maka tidak batal wudhu`nya.
Juga
ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram
dengan pasangan . Menurut sebagian mereka, bila sentuhan itu antara suami
isteri tidak membatalkan wudhu`.
b.
Pendapat yang
Tidak Membatalkan
Dan
sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah, sehingga menyentuh
atau bersentuhan kulit dalam arti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan
wudhu`. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari
kalangan shahabat.
Sedangkan
Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan
itu dibarengi dengan syahwat , maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu`.
Pendapat
mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa
Rasulullah SAW pernah menyentuh para isterinya dan langsung mengerjakan shalat
tanpa berwudhu` lagi.
Dari
Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra dari Nabi SAW bahwa Rasulullah
SAW mencium sebagian isterinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`.
Lalu ditanya kepada Aisyah, ”Siapakah isteri yang dimaksud kecuali anda?” Lalu
Aisyah tertawa.
PENDAPAT
PERTAMA, wudhu itu batal baik sentuhan tersebut diiringi dengan syahwat ataukah
tidak.
Ibnu
Katsir mengatakan, “Pendapat yang mengatakan wajibnya berwudhu karena sekedar
menyentuh perempuan adalah pendapat Syafii dan para ulama mazhab Syafii, Malik
dan pendapat yang terkenal dari Ahmad bin Hanbal” (Tafsir al Qur’an al Azhim
1/669, terbitan Dar Salam).
Pendapat
ini juga didukung oleh Ibnu Hazm. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar juga berpendapat
dengan pendapat ini.
PENDAPAT
KEDUA, bersentuhan dengan perempuan tidaklah membatalkan wudhu sama
sekali. Inilah pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan
sebelumnya merupakan pendapat Ibnu Abbas, Thawus, al Hasan al Bashri dan Atha’.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Pendapat
ketiga mengatakan bahwa menyentuh perempuan itu membatalkan wudhu jika diiringi
syahwat dan tidak membatalkan wudhu jika tanpa syahwat.
Pendapat yang
paling kuat adalah pendapat kedua mengingat dalil-dalil sebagai berikut.
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ
قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ «
اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ
عَلَى نَفْسِكَ
Dari Abu
Hurairah, dari Aisyah, aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada suatu malam dari tempat tidurku lalu kucari-cari. Akhirnya tanganku
memegang bagian dalam telapak kaki Nabi. Ketika itu Nabi di masjid dan kedua
telapak kakinya dalam posisi tegak. Saat itu Nabi sedang mengucapkan doa, ‘Ya
Allah, aku berlindung dengan ridhaMu dari murkaMu dan dengan maafMu dari
hukumanMu. Aku berlindung dengan diriMu dari siksaMu. Aku tidak mampu memujimu
sebagaimana pujianMu untuk diriMu sendiri’ (HR Muslim no 222).
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- وَرِجْلاَىَ فِى قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ
وَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا
مَصَابِيحُ
Dari Aisyah, Aku
tidur melintang di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang
shalat. Kedua kakiku terletak di arah kiblat. Jika beliau hendak bersujud
beliau sentuh kakiku sehingga kutarik kedua kakiku. Jika beliau bangkit berdiri
kembali kuluruskan kakiku. Aisyah bercerita bahwa pada waktu itu tidak ada
lampu di rumah (HR Bukhari no 375 dan Muslim no 272).
Kedua hadits di
atas menunjukan bahwa sentuhan antara laki-laki dan perempuan tidaklah
membatalkan wudhu. Seandainya wudhu batal tentu shalat yang Nabi lakukan juga
batal.
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ
بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ
Dari Aisyah,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sering mencium salah
seorang istri kemudian beliau langsung shalat tanpa mengulang wudhu (HR Nasai
no 170 dan dinilai shahih oleh al Albani).
Referensi:
buku Shahih Fiqh Sunnah 1/138-140, terbitan Maktabah Taufiqiyyah
0 komentar:
Post a Comment