Surah Al
Baqarah 183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Tafsir / DEPAG / Surah Al Baqarah 183
Ash-Shaum menurut istilah dalam syariat Islam ialah menahan
diri dari segala macam makanan, minuman dan bersenggama dengan wanita, mulai
dari terbit fajar sidiq (subuh) sampai terbenam matahari (magrib) dengan niat
dan syarat-syarat yang tertentu (sebagaimana terperinci dalam kitab-kitab
fikih).
Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah
berpuasa, misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan
kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan
lain sebagainya.
Uraian serupa itu tentulah ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang. Karena perasaan lapar, haus dan lain-lain yang ditimbulkan oleh sebab berpuasa itu, bukanlah selalu mengingatkan kepada penderitaan orang lain, malah bisa mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan bermacam-macam makan pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka pada malam harinya. Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter yang memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadhan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang-orang yang beriman.
Uraian serupa itu tentulah ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang. Karena perasaan lapar, haus dan lain-lain yang ditimbulkan oleh sebab berpuasa itu, bukanlah selalu mengingatkan kepada penderitaan orang lain, malah bisa mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan bermacam-macam makan pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka pada malam harinya. Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter yang memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadhan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang-orang yang beriman.
Orang-orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah
berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniyah dan
rohaniyah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia yang harus
diperkembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk
ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan di akhirat.
Pada ayat 183 ini Allah mewajibkan puasa kepada semua
manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka
supaya mereka menjadi orang yang bertakwa. Jadi puasa ini sungguh penting bagi
kehidupan orang-orang yang beriman. Kalau kita selidiki macam-macam agama dan
kepercayaan pada masa kita sekarang ini, dapat dipastikan bahwa kita akan
menjumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan
lain-lain sebagainya.
Dalam ilmu keduniaan untuk memperoleh apa yang dinamakan
kesaktian juga puasa selalu dipergunakan. Kalau diperhatikan pula bahwa
perintah berpuasa itu diturunkan pada bulan Syakban tahun kedua Hijriyah dimana
Nabi Besar Muhammad saw. mulai membangun pemerintahan yang berwibawa dan
mengatur masyarakat baru, maka dapatlah dirasakan, bahwa puasa itu sangat
penting artinya dalam membentuk manusia-manusia yang dapat menerima dan
melaksanakan tugas-tugas besar dan suci.
Surah Al Baqarah 184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang
siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang
lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Tafsir / DEPAG / Surah Al Baqarah 184
Pada ayat 184 dan permulaan ayat 185, Allah menerangkan bahwa
puasa yang diwajibkm itu ada beberapa hari yaitu pada bulan Ramadhan menurut
banyaknya hari bulan Ramadhan itu (29 atau 30 hari). Nabi Besar Muhammad saw.
semenjak turunnya perintah puasa sampai wafatnya, beliau selalu berpuasa di
bulan Ramadhan selama 29 hari kecuali satu kali saja yang genap 30 hari.
Sekalipun Allah swt. telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan
kepada semua orang-orang yang beriman, akan tetapi Allah Yang Maha Bijaksana
memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak
berpuasa pada waktu itu dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan Ramadhan.
Pada ayat tersebut tidak diperincikan jenis/sifat dan ukuran tentang kadar dan
musafir itu, sehingga para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing antara
lain sebagai berikut:
a)
Dibolehkan tidak
berpuasa bagi setiap orang yang sakit dan musafir tanpa membedakan sakitnya itu
berat atau ringan demikian pula perjalanannya, jauh atau dekat, sesuai dengan
bunyi ayat ini. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sirin dan Daud Az-Zahiri.
b)
Dibolehkan tidak
berpuasa bagi setiap orang yang sakit yang benar-benar merasa kesukaran
berpuasa, karena sakitnya. Ukuran kesukaran itu diserahkan kepada rasa tanggung
jawab masing-masing. Pendapat ini dipelopori oleh sebagian ulama tafsir.
c)
Dibolehkan tidak
berpuasa bagi orang yang sakit dan musafir dengan ketentuan-ketentuan, apabila
sakit itu berat dan akan mempengaruhi keselamatan jiwa atau keselamatan
sebagian anggota tubuhnya atau menambah sakitnya bila ia berpuasa; dan juga
bagi orang-orang yang musafir, apabila perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang
ukurannya paling sedikit ialah 16 farsakh (kurang lebih 80 km).
d)
Tidak ada perbedaan
pendapat mengenai perjalanan musafir, apakah dengan berjalan kaki, atau dengan
apa saja, asalkan tidak untuk mengerjakan perbuatan maksiat. Sesudah itu Allah
menerangkan lagi pada pertengahan ayat 184 yang terjemahannya: "Dan wajib
bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin."
Menurut bunyi ayat itu, barang siapa yang benar-benar
merasa berat menjalankan puasa, maka ia boleh menggantinya dengan fidyah,
walaupun ia tidak sakit dan tidak musafir.
Termasuk
orang-orang yang berat mengerjakan puasa itu ialah:
a)
Orang tua yang tidak
mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.
b)
Wanita hamil dan
yang sedang menyusui bayi.
c)
Orang-orang sakit
yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan akan sembuh,
hanya diwajibkan membayar fidyah.
d)
Mengenai buruh dan
petani yang penghidupannya hanya hasil kerja keras dan membanting tulang setiap
hari, dalam hal ini ulama fikih mengemukakan pendapat sebagai berikut:
1.
Imam Al-Azra`i telah
memberi fatwa "sesungguhnya wajib bagi orang-orang pengetam padi dan
sebagainya dan yang serupa dengan mereka, berniat puasa setiap malam Ramadhan.
Barang siapa (pada siang harinya) ternyata mengalami kesukaran atau penderitaan
yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Dan kalau tidak demikian, ia tidak
boleh berbuka."
2.
Kalau seseorang yang
pencariannya tergantung kepada suatu pekerjaan berat untuk menutupi kebutuhan
hidupnya atau kebutuhan hidup orang-orang yang harus dibelanjainya di mana ia
tidak tahan berpuasa maka ia boleh berbuka di waktu itu (dengan arti harus
berpuasa sejak pagi).
Kemudian pada akhir ayat 184 ini Allah menjelaskan bahwa
barang siapa yang dengan rela hati mengerjakan kebajikan dengan membayar fidyah
lebih dari ukurannya atau memberinya makan lebih dari seorang miskin, maka
perbuatan itu baik baginya. Sesudah itu Allah menutup ayat ini dengan
menekankan bahwa berpuasa itu lebih baik daripada tidak berpuasa.
Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 184
(Beberapa hari) manshub atau baris di atas sebagai maf`ul
dari fi`il amar yang bunyinya diperkirakan 'shiyam' atau 'shaum' (berbilang) artinya
yang sedikit atau ditentukan waktunya dengan bilangan yang telah diketahui, yakni
selama bulan Ramadan sebagaimana yang akan datang nanti. Dikatakannya 'yang
sedikit' untuk memudahkan bagi mualaf. (Maka barang siapa di antara kamu) yakni
sewaktu kehadiran hari-hari berpuasa itu (sakit atau dalam perjalanan) maksudnya
perjalanan untuk mengerjakan puasa dalam kedua situasi tersebut, lalu ia
berbuka, (maka hendaklah dihitungnya) berapa hari ia berbuka, lalu berpuasalah
sebagai gantinya (pada hari-hari yang lain.) (Dan bagi orang-orang yang) (tidak
sanggup melakukannya) disebabkan usia lanjut atau penyakit yang tak ada harapan
untuk sembuh (maka hendaklah membayar fidyah) yaitu (memberi makan seorang
miskin) artinya sebanyak makanan seorang miskin setiap hari, yaitu satu gantang/mud
dari makanan pokok penduduk negeri. Menurut satu qiraat, dengan mengidhafatkan 'fidyah'
dengan tujuan untuk penjelasan. Ada pula yang mengatakan tidak, bahkan tidak
ditentukan takarannya. Di masa permulaan Islam, mereka diberi kesempatan
memilih, apakah akan berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus (mansukh)
dengan ditetapkannya berpuasa dengan firman-Nya. "Maka barang siapa di
antara kamu yang menyaksikan bulan, hendaklah ia berpuasa." Kata Ibnu
Abbas, "Kecuali wanita hamil dan yang sedang menyusui, jika berbukanya itu
disebabkan kekhawatiran terhadap bayi, maka membayar fidyah itu tetap menjadi
hak mereka tanpa nasakh." (Dan barang siapa yang secara sukarela melakukan
kebaikan) dengan menambah batas minimal yang disebutkan dalam fidyah tadi (maka
itu) maksudnya berbuat tathawwu` atau kebaikan (lebih baik baginya. Dan
berpuasa) menjadi mubtada', sedangkan khabarnya ialah, (lebih baik bagi kamu) daripada
berbuka dan membayar fidyah (jika kamu mengetahui) bahwa berpuasa lebih baik
bagimu, maka lakukanlah.
Asbabun Nuzul
Diketengahkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, dari
Mujahid, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qais bin Saib
(yang sudah sangat lanjut usianya), 'Dan bagi orang yang berat menjalankannya,
wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin' (Q.S. Al-Baqarah
184). Lalu ia tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin setiap hari
Ramadan yang tidak dipuasainya."
Surah Al Baqarah 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا
أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا
اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
Tafsir / DEPAG / Surah Al Baqarah 185
Pada
ayat ini Allah menerangkan bahwa puasa yang diwajibkan itu ialah pada bulan Ramadhan.
Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadhan Rasulullah saw. telah bersabda:
صوموا
لرؤيته و أفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم (و في رواية : فإن غم عليكم) فأكملوا عدة
شعبان ثلاثين
Berpuasalah kamu
karena melihat bulan (Ramadhan) dan berbukalah kamu karena melihat bulan
(Syawal). Apabila tertutup bagi kamu (dalam satu riwayat mengatakan: Apabila
tertutup bagi kamu disebabkan cuaca yang buruk), maka sempurnakanlah bulan
Syakban tiga puluh hari (dan dalam satu riwayat Muslim "takdirkanlah"
atau hitunglah bulan Syakban tiga puluh hari). (HR Bukhari dan Muslim)
Apakah tertutup bulan itu, karena cuaca yang tidak
mengizinkan, atau memang karena menurut hitungan falakiyah belum bisa dilihat
pada tanggal 29 malam 30 Syakban, atau pada tanggal 29 malam 30 Ramadhan,
tidaklah kita persoalkan di sini. Akan tetapi barang siapa yang melihat bulan Ramadhan
pada tanggal 29 masuk malam 30 bulan Syakban, atau ada orang-orang yang melihat
yang dapat dipercayainya, maka ia wajib berpuasa besok harinya. Kalau tidak,
maka ia harus menyempurnakan bulan Syakban 30 hari. Begitu juga barang siapa
yang melihat bulan Syawal pada tanggal 29 malam 30 Ramadhan, atau ada yang
melihat yang dapat dipercayainya, maka ia wajib berbuka besok harinya, kalau
tidak, maka ia harus menyempurnakan puasa 30 hari.
Sebaiknya dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadhan
dan hari raya Syawal agar dipercayakan kepada pemerintah, sehingga kalau ada
perbedaan pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai
dengan kaidah yang berlaku:
حكم
الحاكم يرفع الخلاف
Putusan penguasa menghilangkan/menghapuskan perbedaan pendapat.
Orang-orang yang tidak dapat melihat bulan Ramadhan seperti
penduduk yang berada di daerah kutub utara atau selatan di mana terdapat enam
bulan malam di kutub utara dan enam bulan siang di kutub selatan, maka hukumnya
disesuaikan dengan daerah tempat turunnya wahyu yaitu, Mekah yang pada daerah
tersebut dianggap daerah mu'tadilah (daerah sedang atau pertengahan) atau
diperhitungkan kepada tempat yang terdekat dengan daerah kutub utara dan kutub
selatan.
Pada ayat 185 ini, Allah mengulangi memperkuat ayat 184,
bahwa walaupun berpuasa diwajibkan, tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang
yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan
menggantikan pada hari-hari yang lain. Kemudian pada penutup ayat ini Allah
menekankan supaya disempurnakan bilangan puasa itu dan menyuruh bertakbir serta
bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk-petunjuk yang diberikan.
Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 185
Hari-hari tersebut adalah (bulan Ramadan yang padanya
diturunkan Alquran) yakni dari Lohmahfuz ke langit dunia di malam lailatulkadar
(sebagai petunjuk) menjadi 'hal', artinya yang menunjukkan dari kesesatan (bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan) artinya keterangan-keterangan yang nyata (mengenai
petunjuk itu) yang menuntun pada hukum-hukum yang hak (dan) sebagai (pemisah) yang
memisahkan antara yang hak dengan yang batil. (Maka barang siapa yang
menyaksikan) artinya hadir (di antara kamu di bulan itu, hendaklah ia berpuasa
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan, lalu ia berbuka, maka wajib
baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain) sebagaimana
telah diterangkan terdahulu. Diulang-ulang agar jangan timbul dugaan adanya
nasakh dengan diumumkannya 'menyaksikan bulan' (Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesempitan) sehingga oleh karenanya kamu
diperbolehkan-Nya berbuka di waktu sakit dan ketika dalam perjalanan. Karena
yang demikian itu merupakan `illat atau motif pula bagi perintah berpuasa, maka
diathafkan padanya. (Dan hendaklah kamu cukupkan) ada yang membaca 'tukmiluu' dan
ada pula 'tukammiluu' (bilangan) maksudnya bilangan puasa Ramadan (hendaklah
kamu besarkan Allah) sewaktu menunaikannya (atas petunjuk yang diberikan-Nya
kepadamu) maksudnya petunjuk tentang pokok-pokok agamamu (dan supaya kamu
bersyukur) kepada Allah Taala atas semua itu.
Surah Al Baqarah 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي
فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا
لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran.
Tafsir / DEPAG / Surah Al Baqarah 186
Sebab
turunnya ayat ialah:
أن
رسول الله صلي الله عليه وسلم سمع المسلمين يدعون الله بصوت رفيع في غزوة خيبر
فقال لهم : أيهاالناس اربعوا علي أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم و لا غائبا إنكم تدعون
سميعا قريبا و هو معكم
Artinya:Bahwa
Rasulullah saw. mendengarkan kaum muslimin berdoa dengan suara yang tinggi pada
perang Khaibar, lalu ia berkata kepada mereka, "Hai manusia, sayangilah
dirimu dengan merendahkan suara dalam bertakbir karena kamu tidak memanggil
(berdoa) kepada yang tuli dan yang jauh dari kamu. Sesungguhnya kamu berdoa
kepada (Allah) Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia adalah beserta
kamu." (HR Ahmad)
Di dalam ayat ini, Allah menyuruh hamba-Nya supaya berdoa
kepada-Nya, serta berjanji akan memperkenankannya. Akan tetapi di akhir ayat
ini Allah menekankan agar hamba-Nya memenuhi perintah-Nya dan beriman
kepada-Nya supaya mereka selalu mendapat petunjuk.
Di
dalam hadis banyak diterangkan hal-hal yang bertalian dengan doa ini antara
lain:
a).
Sabda Rasulullah saw:
ثلاثة لا ترد دعوتهم : الإمام العادل و
الصائم حتي يفطر و دعوة المظلوم
Artinya: Tiga macam orang tidak ditolak doanya, yaitu imam yang adil,
orang yang sedang berpuasa hingga ia berbuka dan doa seorang yang teraniaya.
(HR Muslim)
b).
Sabda Rasulullah saw:
لا
يزال يستجاب للعبد ما لم يدع باثم أو قطيعة رحم ما لم يستعجل قيل : يا رسول الله و
ما الإستعجال؟ قال : يقول قد دعوت فلم أر يستجاب لي فيحسر عند ذلك و يدع الدعاء
Artinya:
Senantiasa diterima permohonan setiap hamba, selama ia tidak mendoakan hal-hal
yang menimbulkan dosa atau memutuskan hubungan silaturahmi (dan) selama tidak
meminta supaya segera dikabulkan. Rasulullah ditanya, "Apakah maksudnya
tidak minta segera dikabulkannya, ya Rasulullah?" Beliau menjawab,
"Seorang hamba yang berkata, "Saya sesungguhnya telah berdoa tetapi
saya lihat belum diperkenankan karena itu ia merasa kecewa lalu tidak berdoa
lagi." (HR Ahmad At Turmuzi, An Nasa'i dan Ibnu Majah)
Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa Allah swt. Maha
Kuasa, Maha Mengetahui dan mengatur segalanya, diminta atau tidak diminta Dia
berbuat sekehendak-Nya, sehingga manusia tidak perlu berdoa, tetapi pendapat
itu bertentangan dengan ayat ini dan hadis-hadis Nabi Besar Muhammad saw.
Adapun
apabila di antara doa yang dipanjatkan kepada Tuhan ada yang belum dikabulkan,
maka itu disebabkan karena doa itu:
- Tidak memenuhi syarat-syarat yang semestinya.
- Tidak mutlak Tuhan memberikan sesuai dengan yang dimohonkan oleh hamba-Nya, tetapi diganti atau disesuaikan dengan yang lebih baik bagi si pemohon, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam ayat ini Allah menghubungkan antara doa yang dijanjikan akan dikabulkan-Nya itu dengan ketentuan bahwa hamba-hamba-Nya harus mematuhi segala perintah-Nya dan beriman kepada-Nya.
Selain itu doa hendaklah dilakukan dengan khusyuk,
sungguh-sungguh dan dengan sepenuh hati, dan bukan doa untuk menganiaya orang,
memutuskan hubungan silaturrahmi dan lain-lain perbuatan maksiat. Dan memang
segala sesuatu haruslah menurut syarat-syarat atau tata cara yang baik dan
dapat menyampaikan kepada yang dimaksud. Kalau seorang berkata, "Ya
Tuhanku, berikanlah kepadaku seribu rupiah!" Maka dia bukanlah berdoa
tetapi sesungguhnya dia seorang jahil. Artinya permohonan serupa itu tidak ada
artinya, karena tidak disertai usaha yang wajar, dan Tuhan tidak menurunkan
hujan emas dari langit.
Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 186
(Segolongan orang-orang bertanya kepada Nabi saw., "Apakah
Tuhan kami dekat, maka kami akan berbisik kepada-Nya, atau apakah Dia jauh, maka
kami akan berseru kepada-Nya." Maka turunlah ayat ini. ("Dan apabila
hamba-hamba-Ku menanyakan kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha
Dekat) kepada mereka dengan ilmu-Ku, beritahukanlah hal ini kepada mereka (Aku
kabulkan permohonan orang yang berdoa, jika ia berdoa kepada-Ku) sehingga ia
dapat memperoleh apa yang dimohonkan. (Maka hendaklah mereka itu memenuhi pula
perintah-Ku) dengan taat dan patuh (serta hendaklah mereka beriman) senantiasa
iman (kepada-Ku supaya mereka berada dalam kebenaran.") atau petunjuk
Allah.
Asbabun Nuzul
Diketengahkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu
Mardawaih, Abu Syeikh dan lain-lain dari beberapa jalur yakni dari Jarir bin
Abdul Hamid, dari Abdah As-Sijistani, dari Shilt bin Hakim bin Muawiyah bin
Haidah, dari bapaknya, dari kakeknya, katanya, "Seorang badui datang
kepada Nabi saw. lalu tanyanya, 'Di mana Tuhan kita?' Maka Allah pun
menurunkan, '...dan sekiranya hamba-hamba-Ku...' sampai akhir ayat." (Q.S.
Al-Baqarah 186). Hadis ini mursal, tetapi ia mempunyai jalur-jalur lain.
Dikeluarkan oleh Ibnu Asakir dari Ali, ia berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda, "Janganlah kamu merasa bosan berdoa, karena Allah menurunkan
kepadaku, 'Memohonlah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doamu!' (Q.S. Ghafir,
60). Seorang lelaki bertanya, 'Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan kita mendengar
doa kita? Atau bagaimana?' Allah pun menurunkan, 'Dan sekiranya hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku...' sampai akhir ayat." (Q.S. Al-Baqarah
186). Dan diketengahkan oleh Ibnu Jarir dari Atha bin Abu Rabah bahwa ketika
ayat itu turun dan Tuhanmu berfirman, "Mohonlah kepada-Ku, niscaya Aku
kabulkan permohonanmu", ada yang mengatakan, "Kita tidak tahu kapan
saatnya kita memohon itu, maka turunlah ayat, 'Dan sekiranya hamba-hamba-Ku
menanyakan kepadamu tentang Aku...' sampai akhir ayat." (Q.S. Al-Baqarah
186)
Surah Al Baqarah 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ
وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,
dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Tafsir / DEPAG / Surah Al Baqarah 187
Pada ayat ini Allah menerangkan uzur atau halangan yang
membolehkan untuk meninggalkan puasa, serta hukum-hukum yang bertalian dengan
puasa. Banyak riwayat yang menceritakan tentang sebab turunnya ayat ini, antara
lain: Pada permulaan Islam para sahabat Nabi dibolehkan makan, minum dan
bersetubuh sampai mereka salat isyak atau tidur.
Apabila mereka telah salat isyak atau tidur, kemudian
bangun maka haramlah bagi mereka semua itu. Pada suatu waktu Umar bin Khattab
bersetubuh dengan istrinya sesudah salat isyak, dan beliau sangat menyesal atas
perbuatan itu dan menyampaikannya kepada Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat ini
menjelaskan hukum Allah yang lebih ringan daripada yang telah mereka ketahui
dan mereka amalkan. Yaitu dari saat terbenamnya matahari (magrib) sampai
sebelum terbit fajar (subuh), dihalalkan semua apa yang tidak diperbolehkan
pada siang hari pada bulan Ramadhan dengan penjelasan sebagai berikut:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari Ramadhan bersetubuh dengan istri
kamu, karena mereka adalah pakatan bagi kamu dan kamu adalah pakatan bagi
mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati diri kamu, yakni tidak
mampu menahan nafsu dengan berpuasa seperti kamu lakukan. Karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi keringanan pada kamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan carilah apa yang ditetapkan bagimu." Artinya sekarang kamu
diperbolehkan bersetubuh dengan istri kamu dan berbuat hal-hal yang dibolehkan
untuk kamu. Makan dan minumlah sehingga terang bagimu benang putih dan benang
hitam yaitu sampai terbit fajar, sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam.
Selain dan itu kamu dilarang pula bersetubuh dengan istrimu di mana kamu sedang
beriktikaf di dalam masjid. Kemudian Allah swt. menutup ayat ini dengan
menegaskan bahwa larangan-larangan yang telah ditentukan Allah itu tidak boleh
kamu dekati dan janganlah kamu melampaui dan melanggarnya. Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada umat manusia, supaya mereka bertakwa."
Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 187
(Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa berkencan dengan
istri-istrimu) maksudnya mencampuri mereka. Ayat ini turun menasakhkan hukum
yang berlaku di masa permulaan Islam, berupa pengharaman mencampuri istri, begitu
pula diharamkan makan minum setelah waktu Isyak. (Mereka itu pakaian bagi kamu
dan kamu pakaian bagi mereka) kiasan bahwa mereka berdua saling bergantung dan
saling membutuhkan. (Allah mengetahui bahwa kamu akan berkhianat pada) atau
mengkhianati (dirimu) dengan melakukan jimak atau hubungan suami istri pada
malam hari puasa. Hal itu pernah terjadi atas diri Umar dan sahabat lainnya, lalu
ia segera memberitahukannya kepada Nabi saw., (maka Allah pun menerima tobatmu)
yakni sebelum kamu bertobat (dan dimaafkan-Nya kamu. Maka sekarang) karena
telah dihalalkan bagimu (campurilah mereka itu) (dan usahakanlah) atau carilah (apa-apa
yang telah ditetapkan Allah bagimu) artinya apa yang telah diperbolehkan-Nya
seperti bercampur atau mendapatkan anak (dan makan minumlah) sepanjang malam
itu (hingga nyata) atau jelas (bagimu benang putih dari benang hitam berupa
fajar sidik) sebagai penjelasan bagi benang putih, sedangkan penjelasan bagi
benang hitam dibuang, yaitu berupa malam hari. Fajar itu tak ubahnya seperti
warna putih bercampur warna hitam yang memanjang dengan dua buah garis berwarna
putih dan hitam.
(Kemudian sempurnakanlah puasa itu) dari waktu fajar (sampai
malam) maksudnya masuknya malam dengan terbenamnya matahari (dan janganlah kamu
campuri mereka) maksudnya istri-istri kamu itu (sedang kamu beriktikaf) atau
bermukim dengan niat iktikaf (di dalam mesjid-mesjid) seorang yang beriktikaf
dilarang keluar mesjid untuk mencampuri istrinya lalu kembali lagi. (Itulah) yakni
hukum-hukum yang telah disebutkan tadi (larangan-larangan Allah) yang telah
digariskan-Nya bagi hamba-hamba-Nya agar mereka tidak melanggarnya (maka
janganlah kami mendekatinya). Kalimat itu lebih mengesankan dari kalimat "janganlah
kamu melanggarnya" yang diucapkan pada ayat lain. (Demikianlah sebagaimana
telah dinyatakan-Nya bagi kamu apa yang telah disebutkan itu (Allah menjelaskan
ayat-ayat-Nya bagi manusia supaya mereka bertakwa) maksudnya menjauhi larangan-Nya.
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari jalur
Abdurrahman bin Abu Laila dari Muaz bin Jabal, katanya, "Mereka biasa
makan minum dan mencampuri wanita-wanita selama mereka masih belum tidur.
Tetapi kalau sudah tidur, mereka tak hendak bercampur lagi. Kemudian ada
seorang laki-laki Ansar, Qais bin Sharmah namanya. Setelah melakukan salat
Isyak ia tidur dan tidak makan minum sampai pagi dan ia bangun pagi dalam
keadaan letih. Dalam pada itu Umar telah mencampuri istrinya setelah ia bangun
tidur, ia datang kepada Nabi saw. lalu menceritakan peristiwa dirinya. Maka
Allah pun menurunkan, 'Dihalalkan bagi kamu mencampuri istri-istrimu...' sampai
dengan firman-Nya. '...kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.'" (Q.S.
Al-Baqarah 187). Hadis ini masyhur atau terkenal, diterima dari Ibnu Abu Laila,
walaupun ia tidak pernah mendengarnya dari Muaz, tetapi ada hadis lain sebagai
saksi, misalnya yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Barra, katanya,
"Biasanya para sahabat Nabi saw. jika salah seorang di antara mereka berpuasa,
lalu datang waktu berbuka, kemudian ia tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak
makan semalaman dan seharian itu sampai petang lagi. Kebetulan Qais bin Sharmah
berpuasa. Tatkala datang saat berbuka, dicampurinya istrinya, lalu tanyanya,
'Apakah kamu punya makanan?' Jawabnya, 'Tidak, tetapi saya akan pergi dan
mencarikan makanan untukmu.' Seharian Qais bekerja, hingga ia tertidur lelap
dan ketika istrinya datang dan melihatnya, ia mengatakan, 'Kasihan kamu!' Waktu
tengah hari, karena terlalu lelah, ia tak sadarkan diri, lalu disampaikannya
peristiwa itu kepada Nabi saw. maka turunlah ayat ini yang berbunyi,
'Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istrimu.'
(Q.S. Al-Baqarah 187). Mereka amat gembira dan berbesar hati menerimanya.
Di samping itu turun pula, 'Dan makan minumlah hingga nyata
bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.'" (Q.S. Al-Baqarah
187). Diketengahkan pula oleh Bukhari dari Barra; katanya, "Tatkala datang
puasa pada bulan Ramadan, mereka tak mau mendekati istri-istri mereka selama
bulan itu. Tetapi beberapa orang (laki-laki) mengkhianati diri mereka, maka
Allah pun menurunkan, 'Allah maklum bahwa kamu mengkhianati diri kamu, maka
diterima-Nya tobatmu dan dimaafkan-Nya kamu...' sampai akhir ayat." (Q.S.
Al-Baqarah 187). Diketengahkan pula oleh Ahmad, Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim
dari jalur Abdullah bin Kaab bin Malik yang diterimanya dari bapaknya, katanya,
"Pada bulan Ramadan jika seorang berpuasa dan hari masuk malam lalu ia
tidur, haram baginya makan minum dan wanita, sampai ia berbuka pada esok
harinya. Umar pun kembali dari rumah Nabi saw. yakni setelah begadang di
sisinya. Dicarinya istrinya, maka jawabnya, 'Saya telah tidur.' Jawab Umar,
'Tidak, kamu belum lagi tidur', lalu dicampurinya istrinya itu. Kaab melakukan
pula seperti yang dilakukan Umar, lalu di waktu pagi Umar segera mendapatkan
Nabi saw. dan menyampaikan peristiwanya. Maka turunlah ayat ini."
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Sahl bin Said, katanya, "Diturunkan ayat
'makan minumlah hingga nyata bagi kamu benang putih dari benang hitam.' (Q.S.
Al-Baqarah 187) dan belum diturunkan 'berupa fajar' (Q.S. Al-Baqarah 187).
Beberapa orang laki-laki jika mereka hendak berpuasa masing-masing mereka
mengikatkan pada kedua kakinya benang putih dan benang hitam. Mereka terus
makan minum sampai jelas perbedaan keduanya. Maka Allah pun menurunkan
kelanjutannya 'berupa fajar' sehingga mereka tahu bahwa yang dimaksud ialah
malam dan siang." Diketengahkan oleh Ibnu Jarir dari Qatadah, katanya,
"Jika seorang laki-laki melakukan iktikaf, lalu ia keluar mesjid, jika
dikehendakinya ia dapat saja mencampuri istrinya. Maka turunlah ayat 'Dan
janganlah kamu campuri mereka itu sedang kamu beriktikaf di mesjid.'"
(Q.S. Al-Baqarah 187).
0 komentar:
Post a Comment