PEMBAHASAN TENTANG TAQLID, ITTIBÂ’, TALFIQ DAN IFTA’
A. TAQLÎD
Secara
bahasa kata taqlîd (تـقـلـيـد) berarti meniru,
mencontoh dan mengikuti. Adapaun secara istilah seperti disebutkan oleh Wahbah
Zuhaili[1] adalah sebagai berikut ;
التـقـليـدهـوأخـذ
قـول الـغـيـرمـن غـيـرمـعـرفـة د لـيـلـه
Artinya ; Taqlîd
ialah berpegang kepada pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
التـقـليـدهـوالـعـمـل بـقــول مـن ليـس
قـوله احـدى الحـجـج الـشـرعـيـة بلا حجـة منـه.
Artinya ; Taqlid
ialah mengamalkan satu pendapat tanpa ada landasan hujjah syariyah.
Sementara itu, Imam Al-Gazali sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Salam Madkur[3]
menyebutkan bahwa taqlid itu ialah
قـبـول
قــول بــلآ حجـة.
Wahbah
Zuhaili[4]
menyebutkan, bahwa pada awal abad
keempat Hijriyah, keadaan ini terus berlangsung pada abad-abad berikutnya. Hal
ini terlihat, terutama setelah berlalunya
imam-imam yang empat dan melembaga serta mengakarnya mazhab yang empat dalam
masyarakat.
Dengan
munculnya sikap taqlîd dari para pengikut mazhab, maka semangat
berijtihad di kalang ulama fiqih semakin hari semakin menurun dan berkurang--yang
pada akhirnya para ulama hanya mencukupkan dari pada pendapat-pendapat yang
ada.[5]
Di kalangan
ulama terjadi perbedaan pendapat boleh tidaknya bertaqlid. Perbedaan ini
agaknya dilatarbelakangi oleh dua hal yaitu; pertama dalam
katiannya dengan pembidangan ajaran agama dan kedua, dalam kaitannya
dengan pengelompokkan orang yang
bertaqlid itu.
Dalam
pandangan ulama fiqih, bahwa hukum syara’ dibagi kepada persoalan yang
menyangkut dengan aqidah atau disebut dengan ushûl al-‘ammah
(pokok-pokok ajaran keimanan) dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan furû’iyah
yaitu yang menyangkut amalan praktis.
a. Taqlîd dalam
persoalan aqidah.
Yang dimaksud dengan masalah aqidah disini, ialah
sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili,[6] yaitu mengetahui Allah Swt
dengan segala syifat-Nya, masalah tauhid dan masalah kenabian, dan seluruh
persoalan hukum yang mesti diketahui oleh semua orang mukallaf, seperti;
masalah ibadah, mu’amalah, hukuman, rukun Islam yang lima, keharaman
riba’, zina, halalnya nikah dan lain-lainnya -- yang kesemuanya ditetapkan
dengan dasar yang qath’iy (pasti). Ulama ushul berbeda pendapat tentang
hukum bertaqlid terhadap masalah aqidah. Dalam hubungan ini, Jumhur ulama
berpendapat bahwa tidak boleh bertaqlid dalam masalah aqidah dimana seseorang
harus berupaya memahaminya dengan menggunakan nalar, bukan hanya sekedar
mengikut pendapat orang lain[7]. Jumhur ulama berpendapat
bahwa mempergunakan nalar itu adalah wajib sedangkan taqlîd tidak
mempergunakan nalar sama sekali. Hal ini berarti mengamalkan yang wajib. Oleh
karena itu, taqlîd tidak dibolehkan. Lebih tegas lagi, jumhur ulama
ushul dan ulama kalam sepakat dalam hal mewajibkan kepada setiap orang untuk mengetahui
dan mengenal Allah Swt. Dengan demikian tidak dibenarkan bersikap taqlîd dalam
persoalan aqidah ini. Adapun yang mendasari pandangan jumhur ushul fiqh tidak
boleh taqlîd dan wajib menggunakan nalar itu ialah Al-Qur’an surat Ali
Imran/3, ayat 190; yang artinya : “... bahwa dalam penciptaan langit dan
bumi dan silih bergantinya malam dan siang merupakan tanda-tanda bagi orang
yang berakal.” Ayat ini jelas memerintahkan untuk menggunakan nalar dan
akal untuk berfikir, termasuk persoalan aqidah.
Sementara pendapat lain mengatakan bahwa boleh bertaqlid
dalam persoalan aqidah. Ubaidillah bin al-Hasan al-Anbari tokoh dari kalangan
Muktazilah, Al-Hasyawiyyah (kelompok yang hanya berpegang kepada zahir
ayat-ayat Allah dan at-Ta’limiyah (kelompok Batiniah yang berpendapat
bahwa pada setiap masa terdapat seorang imam yang maksum (terpelihara dari
kesalahan) menegaskan bahwa bertaqlid dalam urusan aqidah ialah dibolehkan.
Bahkan kalangan ini berpendapat bertaqlid dalam hal ini diwajibkan, sebaliknya
menggunakan nalar dan ijtihâd dalam urusan aqidah adalah diharamkan[8]. Kelompok ini juga
mengatakan. Apabila menggunakan nalar dalam persoalan aqidah diwajibkan, maka
tentunya para sahabat akan melakukannya dan memerintahkan orang lain untuk
melakukannya. Akan tetapi, para sahabat tidak melakukannya, karena tidak ada
satu riwayatpun yang menyatakan mereka melakukan hal tersebut[9].
b. Taqlîd
dalam masalah furû’iyah
Masalah furû’iyah ialah persoalan-persoalan hukum
yang berhubungan dengan amalan praktis yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil
yang zhanniyat (dalil-dalil yang tidak tegas yang mengandung berbagai
kemungkinan pendapat). Dalam hal ini ulama berbeda pendapat; Pertama, yaitu dari golongan
mazhab zahiri, sebagian muktazilah di Bagdad, dan sekelompok syi’ah Imamiah
mengatakan bahwa tidak dibenarkan bertaqlid dalam urusan furû’iyah. Sekarang
harus melakukan ijtihad dan beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya itu. Bahkan
Ibnu Hazm, salah seorang ulama usuhl fiqh dari kalangan mazhab Zahiri
mengatakan bahwa haram dan tidak halal agi seseorang mengikuti (bertaqlid)
pendapat orang lain, selain yang datang dari Rasulullah SAW. Kelompok ini
beralasan kepada surat al-A’raf ayat/7, ayat 3, yang artinya “ Ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya (Tuhan), amat sedikitlah kamu yang mengambil
pelajaran”. Berdasarkan ayat ini, maka kelompok ini menyatakan tidak boleh
bertaqlid kepada selain dari apa yang dibawa Rasul selanjutnya pendapat.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa bertaqlid itu wajib hukumnya
dalam masalah-masalah furuûiyah, sebagaimana halnya pendapat mereka
wajibnya bertaqlid dalam persoalan aqidah. Pendapat ini dikemukakan oleh Nasyawiyah
dan at-Ta’limiyah. Kemudian kelompok ketiga, dari kalangan
jumhur ulama ushul fiqh yang terdiri dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab
Syafe’i dan mazhab Hanbali mengatakan bahwa berijtihad dalam masalah furû’ tidak
dilarang dan para mujtahid diharamkan (dilarang) bertaqlid[10]. Adapaun orang awam,
yaitu orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai mujtahid sekalipun ia
berilmu, “boleh” bertaqlid. Kelompok jumhur ini mengemukakan beberapa
alasan. Diantara alasan tersebut ialah; (1) berdasarkan surat an-Nahal/16, ayat
43, yang artinya ; ... “maka bertanyalah kamu kepada orang yang memiliki
pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. Kemudian alasan (2) ialah menurut
kelompok ini para sahabat telah mengeluarkan fatwa bagi orang awam yang
bertanya kepada mereka dalam berbagai persoalan dan tidak seorangpun diantara
mereka yang mengingkari hal ini. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama ushul
ini, orang-orang yang mampu berijtihad haram baginya bertaqlid dan sedangkan
orang-orang awam dibolehkan bertaqlid. Disamping itu jumhur ulama ushul membagi
taqlid itu kepada dua macam, yaitu taqlid al-Mahmûd dan taqlid al-Mazmûm,[11] yang dimaksud dengan
taqlid al-Mahmûd atau mahmûdah ialah taqlid yang dilakukan oleh
orang awam yang tidak memiliki kualifikasi sebagai mujtahid. Orang-orang
seperti ini hanya bisa mengikuti pendapat atau pandangan para imam mujtahid
dengan mengetahui dalilnya. Bagi orang awam akan lebih baik bertaqlid kepada
pendapat-pendapat imam mazhab yang mereka yakini. Sebab, jika tidak bertaqlid
justeru akan salah. Adapun taqlid al-Mazmûm atau Mazmûmah adalah
taqlid yang tercela atau dilarang. Menurut jumhur ulama ushul[12] ada tiga bentuk taqlîd
yang dilarang; yaitu (a) bertaqlid kepada orang tua atau pemimpin tanpa
mengkaji (mengetahui) sama sekali pendapat tersebut; (b) bertaqlid yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain, sementara dia sebenarnya mampu
berijtihad sendiri dan pendapatnya bisa diikuti oleh orang awam; dan (c) bertaqlid
kepada sesuatu pendapat setelah diketahui adanya dalil yang bertentangan dengan
pendapat yang diikuti itu. Dalam hubungan inilah jumhur ulama ushul dari
kalangan mazhab menegaskan bahwa tiga macam taqlid tercela di atas haram
diikuti. Tokoh-tokoh mazhab seperti imam Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Sayfe’i,
Imam Ahmad Ibn Hanbal dan imam AbuYusuf menghinbau dan menyatakan, “agar
pendapat mereka jangan diikuti secara emmbabi buta. Imam Syafe’i mengatakan”
orang yang bertaqlid kepada orang lain tanpa mengetahui dalilnya adalah ibarat
pencari kayu bakar di malam yang mengambil seluruhnya yang dianggapnya sebagai
kayu bakar, sehingga tidak tahu bahwa ular telah melilit pada ikatan kayu
bakar. Begitu juga imam Ahmad bin Hanbal mengatakan ”jangan kamu bertaqlid pada
saya, pada Imam Malik, Sufyan As-Sauri dan Abdurrahman al-Auza’i, ambillah
pendapat mereka sesuai tempat mereka mengambilnya.[13] Bahkan Imam Abu Yusuf
menjelaskan bahwa tidak halal bagi seseorang mengambil pendapat kami sampai dia
mengetahui dari mana kami mengambil pendapat itu.[14] Menurut jumhur ulama ushul, orang yang boleh
bertaqlid adalah orang yang benar-benar awam. Orang seperti ini boleh bertaqlid
dalam masalah furû’ yang ditetapkan berdasarkan dalil yang zhanny.
Bagi orang yang mampu memahami dalil yang digunakan mujtahid maka harus ittibā’.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan terjadinya sikap taqlid tersebut. Berdasarkan catatan
Sya’ban Muhammad Ismail,[15] bahwa faktor-faktor yang
melatarbelakangi timbulnya sikap taqlid itu adalah sebagai berikut ;
1. Kuatnya ajakan untuk mengikuti mazhab oleh murid-murid
para imam yang menganut dan mengaitkan kepada imam-imam yang menjadi tokoh
mazhab. Disamping itu adanya keberpihakkan penguasa kepada salah satu
mazhab-mazhab -- dalam hal yang berkaitan urusan agama.
2. Melemahnya
kemampuan hakim (qadli) dalam istinbat hukum. Hal ini terliaht terutama pada
abad kelima Hijriyah. Jika sebelumnya, hakim-hakim itu dipilih dari para ulama
yang memiliki kemampuan untuk melakukan istinbât hukum daari al-Qur’an
dan Sunnah. Mereka dikenal sebagai orang taqwa, zuhud, dan wara’.
Mereka mampu melakukan ijtihâd
dalam rangka menetapkan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Kadang-kadang mereka
bertanya kepada para Mufti apabila mereka tidak menemukan jawaban atas sesuatu
kasus hukum. Karena lemahnya kemampuan hakim dalam menetapkan hukum, sehingga
mereka hanya mempedomani pendapat mazhab saja. Disamping itu pada masa ini
mazhab-mazhab fiqih juga telah tersebur dari berbagai wilayah Islam – yang juga
menjadi anutan masyarakat.
3. Semakin melembaga dan mengakarnya ajaran mazhab di
dalam masyarakat, sehingga ia menjadi anutan yang sulit ditinggalkan oleh
masyarakat.
4. Timbulnya rasa
iri atau dengki antar tokoh dan pengikut mazhab yang tidak jarang berujung pada
konflik.
5. Munculnya
fuqaha yang berpikiran picik dan seringnya terjadi konflik (jidal) antar sesama
mereka.
6. Rusaknya sistem
pendidikan dan sibuknya ulama pada urusan-urusan yang tidak produktif.
7. Banyaknya karya-karya yang sesungguhnya tidak
mendukung untuk kemajuan.
8. Munculnya sikap matrealitis di kalangan masyarakat dan
senang mengumpulkan harta serta hilangnya semangat untuk mengembangkan ilmu.
B. ITTIBÂ’
Secara bahasa
ittibâ’ terambil dari akar
kata “اتـبع – يـتـبـع – اتـبـاع” yang berarti mengikuti. Adapun menurut istilah sebagai
dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili[16] adalah sebagai berikut ;
وامـاالاتـبـاع فـهـوسـلوك الـتـابـع طريـق الـمـتـبوع وأخذ الـحـكـم مـن الد
لـيـل بـالـطريـق الـتى أخـذ بـهـا متبوعه، فـهـوا تـبـاع للـقـائـل على أســاس
مـا اتـضح لـه مـن د لـيـل عــلى صـحـة قـولـه.
Artinya ; Cara yang ditempuh seorang pengikut sesuai
dengan cara yang dilakukan oleh orang yang diikuti serta mengambil / menetapkan
hukum dari dalil-dalil yang jelas-jelas ia ketahui tingkat kesahannya.
Selanjutnya,
dalam Ensiklopedi Hukum Islam,[17] disebutkan bahwa yang
dikatakan ittibā’ itu ialah mengikuti pendapat Imam-imam mujtahid dengan
mengetahui dalil-dalilnya yang pendapat tersebut. Misalnya apabila mengambil
pendapat Imam Abu Hanifah bahwa tidak batal wuduk seorang laki-laki yang
bersentuhan kulit dengan seorang wanita, maka harus mengetahui alasan yang
digunakan oleh Imam Abu Hanifah dalam mendukung pendapatnya.
Sebaliknya,
apabila seseorang laki-laki mengikuti pendapat Imam Syafe’i yang mengatakan
bahwa wuduk seseorang batal apabila bersentuhan kulit dengan wanita maka ia
harus mengetahui dalil yang dipergunakan Imam Syafei dalam mendukung
pendapatnya itu. Menurut jumhur ulama ushul cara seperti ini disebut dengan ittibā’.[18]
Dengan
demikian, jelaslah bahwa perbedaan antara taqlîd dan ittibā’.
Taqlîd mengikuti pendapat imam mujtahid tanpa mengetahui alasan
dalilnya. Sedangkan ittibā’ ialah mengikuti suatu pendapat imam Mujtahid
dengan mengetahui alasan dalil serta sumber pengambilannya. Dalam pandangan
Wahbah Zuhaili[19]
bahwa ittibā’ itu sesungguhnya
adalah mengikuti suatu pendapat (al-qaul) dengan mengetahui hujjah serta
dalil yang melandasi hujjah tersebut.
C. TALFÎQ
Secara etimologi, kata talfîq (تـلـفـيـق)
berasal dari akar kata
“ لـفـق- يـلفـق- تـلفـيـق”, yang berarti “merapatkan dua tepi” atau mempertemukan menjadi
satu”.[20] Adapun secara istilah
terdapat sejumlah definisi degnan redaksional yang berbeda. Wahbah Zuhaili[21] menyebutkan bahwa talfiq
itu ialah ;
ان يـتـرتـب عــلى الـعـمـل بـتـقــليـد.
Artinya ; Mengamalkan (ajaran agama) dengan mengikuti
beberapa mazhab.
Amir
Syarifuddin[22]
menyebutkan, bahwa talfîq itu mengamalkan atau beramal dalam urusan agama
dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa mazhab. Sementara itu, dalam Ensiklopedi
Hukum Islam[23]
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan talfiq ialah cara mengamalkan suatu
ajaran agama dengan mengikuti secara taqlîd tata cara berbagai mazhab,
sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat berbagai mazhab.
Sebagai
contoh dapat dikemukakan disini ialah tentang wudluk. Ketika berwudluk,
khususnya dalam hal menyapu (mengusap) kepala seseorang mengikuti cara yang
dikemukakan oleh Syafe’i. Imam Syafe’i berpendapat bahwa dalam berwudluk
seseorang cukup menyapu sebagian kepala, minimal tiga helai rambut. Setelah
berwudluk orang tersebut bersentuhan kulit dengan seorang wanita yang bukan
mahramnya. Menurut Syafe’i, wudluk orang (orang laki-laki) tersebut batal. Jika
bersentuhan dengan mahramnya tidaklah batal.[24]
Akan tetapi
dalam hal bersentuhan kulit dengan wanita bukan mahram setelah berwudluk orang
(laki-laki) tersebut mengambil pendapat imam Abu Hanifah dan meninggalkan
pendapat Imam Syafe’i. Dalam pandangan Imam Abu Hanifah bahwa persentuhan kulit
antara peria dan wanita bukan mahram dalam keadaan wudluk tidaklah batal
wudluknya. Dalam kasus ini pada amalan wudluk terkumpul dua pendapat sekaligus
yaitu ; pendapat imam Syafe’i dan Imam Abu Hanifah.
Jika dilihat
dari pendapat dua mazhab itu secara
terpisah maka wudluk tersebut tidak sah. Dalam mazhab Syafe’i wudluk tidak sah
karena yang bersangkutan telah bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan
mahram. Dilihat dari mazhaHanafi wudluk tersebutpun tidak sah, karena orang
tersebut hanya menyapu sebagian kepalanya. Karena menurut Imam Abu Hanifah,
dalam berwudluk kepala harus disapu atau diusap seluruhnya.
Para ulama
memang memperbincangkan pesoalan talfîq ini. Menurut Amir Syarifuddin,[25] ulama yang tidak mengikatkan
diri kepada salah satu mazhab atau kepada seorang mujtahid tidak merasa perlu
memperbincangkan persoalan talfîq ini. Demikian juga halnya dengan
kalangan ulama yang mengharuskan bermazhab bahwa mereka tidak perlu
membicarakan talfîq, karena talfîq itu hakekatnya adalah pindah
mazhab.
Adapun
perbincangan talfîq itu muncul, karena ada sebagian ulama yang
membolehkannya. Bahkan, mayoritas ulama fiqh dan ushul fiqh membolehkan talfîq
dalam mengamalkan suatu pendapat.[26] Namun demikian diingatkan juga bahwa
dibolehkan talfîq itu tidak dimaksudkan untuk memudah-mudahkan dalam
beragama. Talfîq itu dibolehkan hendaklah memperhatikan hal-hal sebagai
berikut ;[27]
1.
Mengambil cara yang termudah karena
hendaklah disebabkan adanya uzur. Hal ini diingatkan oleh Al-Gazali bahwa talfîq
tidak boleh didasarkan pada keinginan mengambil yang termudah dengan
dorongan hawa nafsu.
2.
Talfîq tidak boleh
membatalkan hukum yang telah ditetapkan hakim, karena apabila hakim telah
menentukan suatu pilihan hukum dari beberapa pendapat tentang sesuatu masalah
maka hukum itu wajib dita’ati.
3.
Talfîq tidak boleh
dilakukan dengan mencabut kembali suatu hukum atau amalan yang sudah diyakini.
Namun harus diingat, bahwa talfîq akan ditolak
jika tujuannya hanya mencari-cari kemudahan atau keringanan, yang dalam istilah
ulama ushul disebut dengan " تتـبـع
الرخـص”.[28] Akan tetapi, bila talfîq itu dilakukan
dengan motivasi maslahat, yaitu untuk menghidnarkan kesulitan dalam beragama,
maka hal ini dapat dilakukan.[29]
D. IFTÂ’
Secara
etimologi kata iftâ’ (افـتـاء) terambil dari akar kata
“أفـتى
– يـفـتى – افـتـاء”[30] yang berarti
memberi penjelasan, memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa. Secara tegas
rumusan tentang iftâ’ ini. Akan tetapi dapat dipahami bahwa iftâ’ itu intinya
adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya
kepada orang yang belum mengetahuinya.[31] Dari sini dapat dipahami
bahwa yang dimaksud dengan iftâ’ ialah
jawaban yang diberikan oleh seorang ahli atas suatu pertanyaan tentang suatu
persoalan hukum syara’. Orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
disebut dengan mufti (المـفـتى). Secara lebih tegas dikatakan bahwa iftâ’ itu adalah fatwa
yang diberikan oleh seorang mufti atas suatu persoalan hukum yang ditanyakan
kepadanya. Pekerjaan meminta fatwa itu disebut dengan istaftâ’
(اســتـفـتى).
Sedangkan orang yang meminta fatwa atau yang diberi jawaban fatwa disebut
dengan mustaftî’ (الـمســتـفـتى).
Mufti’ atau orang
yang memberi fatwa itu sesungguhnya adalah juga mujtahid atau faqih.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan persyaratan seorang muftī
pada dasarnya sama dengan seperti mujtahid atau faqih. Namun demikian, Imam
Ahmad bin Hanbal, sebagai dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah menyebutkan
secara khusus syarat-syarat seorang mufti, sebagai berikut ini.[32]
1. Seorang Mufti
itu hendaklah memiliki niat yang ikhlash. Sekiranya seorang mufti tidak
memiliki niat yang tulus, maka ia tidak akan mendapat cahaya.
2. Mufti hendaklah seorang yang memiliki ilmu,
penyantun, sopan dan tenang.
3. Mufti
hendaklah seorang yang memiliki semangat / jiwa yang kuat.
4. Berkecukupan
5. Mengenal
keadaan dan lingkungan masyarakatnya.
Akan tetapi
secara umum, kalam ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus
dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan.
Persyaratan tersebut adalah.[33] (1) balgih, berakal dan merdeka; (2) adil; dan (3)
memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk
memberikan fatwa. Berdasarkan persyaratan ini ; seorang mufti tidak harus
seorang laki-laki. Wanitapun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan di
atas.
Adapun yang
dimaksud dengan adil, menurut Al-Gazali, adalah seorang yang istiqomah dalam
agamanya dan memelihara kehormatan pribadinya. Syarat ini sangat diperlukan,
karena mufti merupakan panutan bagi masyarakat, baik dari segi fatwa yang
dikeluarkannya maupun dari segi kepribadiannya.[34]
Terkait
dengan syarat adil bagi mufti ulama ushul fiqh juga mengemukakan implikasi dari
syarat ini. Menurut mereka ada tiga hal[35] yang harus diperhatikan
oleh para mufti dalam kaitannya dengan syarat adil ini ; (a) setiap fatwanya
harus senantiasa dilandasi oleh dalil, (b) apabila mufti tersebut kapasitas
ilmiah untuk mengistinbatkan hukum, maka ia harus berusaha menggali hukum dari
nash dengan mempertimbangkan realitas yang ada, dan (c) fatwa itu tidak
mengikuti kehendak al-Mustafti tetapi mempertimbangkan dan mengikuti
kehendak dalil dan kemaslahatan umat manusia.
Selanjutnya,
iftâ’ itu lebih khusus jika dibandingkan dengan ijtihâd.[36] Kekhususan tersebut ialah
dimana iftâ’ dilakukan setelah
ada pertanyaan atau perminataan dari orang yang minta fatwa (mustafti),
sedangkan ijtihâd dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari manapun.[37]
Kemudian
yang paling penting dalam iftâ’ itu ialah
harus ada unsur-unsur berikut ini; yang juga unsur-unsur ini merupakan rukun iftâ’ yaitu ;
1.
Adanya usaha memberikan penjelasan,
yang disebut dengan iftâ’.
2.
Adanya orang yang menyampaikan jawaban
hukum syara’ terhadap orang yang bertanya, disebut mufti.
3.
Adanya orang yang bertanya atau meminta
penjelasan hukum atau suatu peristiwa yang disebut dengan Mustafti.
4.
Jawaban hukum syara’ yang disampaikan
kepada orang yang bertanya, disebut dengan fatwa.
Menyangkut
kedudukan hasil fatwa sesungguhnya sama dengan hasil ijtihâd. Ketentuan
hukum hasil fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti sifatnya tidak
mengikut al-Mustafti atau orang yang bertanya. Al-Mustafti boleh
menerima dan boleh pula menolak, dalam artian tidak mengamalkan hasil suatu
fatwa. Berbeda halnya dengan keputusan hakim. Suatu ketentuan hukum yang
diputuskan oleh hakim ia bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak
yang dihukum.
[1] Wahbah
Zuhaili. 1986. Ushul al-Fiqh Al-Islam, Jilid II. Damaskus ; Dar al-Fikr
Lit-Tiba’ah wa al-Tauzi wa al-Nasyar, Cet. I, halaman 1120
[2] Muhammad
Salam Madkur, 1984, Al-Ijtihad Fi al-Tasyīr’ al-Islami, Kairo ; Dar
al-Nahdah al-Arabiyah. Cet. I, halaman 170-171.
[3] Ibid
[4] Wahbah Zuhaili, loc.cit.
[5] PT. Ichtiar Baru Van Hoeve; 200. Ensiklopedi
Hukum Islam, jilid 5, Jakarta ; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. 4. halaman
1761.
[6] Wahbah Zuhaili. 1986. Ushul al-Fiqh
al-Islami, Jilid 2, Damaskus, Dar al-Fikr Lit-Tiba’ah wa al-Tauzi’ wa
al-Nasyar, Cet. I, halaman 1122. Lihat pula Ensiklopedi Hukum Islam. Lco.cit.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid,
halaman 1763
[12] Ibid
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Sya’ban
Muhammad Ismail. 1985. Al-Tasyri’ al-Islami (Maskadiruh wa atwaruh),
Kairo; Maktabah al-Nahda al-Misriyah, Cet I, halaman 374-376.
[16] Wahbah
Zuhaili. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Jilid II, Damaskus; Dar al-Fikr,
Cetakan I, halaman 1121.
[17] Aziz Dahlan et.all (edit). 1996. Ensiklopedi
Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. I, halaman
1763
[19] Wahbah Zuhaili. Loc.cit
[20] Lihat Mahmud Yunus. 1990. Kamus Arab
Indonesia. Jakarta ; PT. Hidakarya Agung, halaman 399. Bandingkan Amir
Syarifuddin. 2001. Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana
Ilmu, Cet. 2, halaman 427.
[21] Wahbah Zuhaili. 1986. Ushul al-Fiqh
Al-Islami, Damaskus ; Dar al-Fikr, Cet. I, halaman 1142
[22] Amir Syarifuddin, Loc.cit
[23] Aziz Dahlan et.all. (edit.). 1996. Ensiklopedi
Hukum Islam. Jilid 5, Jakarta ; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. I, halaman
1786.
[24] Ibid.
[25] Amir
Syarifuddin, 2001. Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. 2, halaman 427
[26] Aziz
Dahlan et.all, (edit). 1996, Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 5, Jakarta ; PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Cet. I, halaman 1786
[27] Ibid.
[28] Amir
Syarifuddin, op.cit, halaman 428
[29] Ibid.
[30] Lihat dalam Muhammad Yunus. 1990. Kamus
Arab – Indonesia. Jakarta ; PT. Hidakarya Agung, halaman 308
[31] Lihat Amir Syarifuddin, 2001. Ushul
Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. 2, halaman 429
[32] Muhammad Abu Zahrah. 1958, Ushul
al-Fiqh, Kairo ; Dar al-Fikr al-Araby, halaman 401.
[33] Aziz
Dahlan et.all (edit). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I, Jakarta ; PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Cet. I, halaman 326-327
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36]
Muhammad Abu Zahrah, loc.cit.
[37] Amir
Syarifuddin, Loc.cit.
0 komentar:
Post a Comment