Alkisah
bercerita tentang masa kecil Nabi Ibrahim AS. Diusir oleh ayahnya, dibakar oleh
kaumnya, lalu Allah selamatnya dengan menjadikan api itu dingin.
Semasa
Nabi Ibrahim kecil, kaumnya terbagi menjadi tiga golongan. Golongan yang
menyembah berhala (patung-patung), golongan penyembah bintang, dan golongan
penyembah raja.
Nabi
Ibrahim sendiri anak dari seornag pemahat patung profesional dan sangat
tersohor pada zamannya. Azar nama Ayahnya, seorang seniman dengan bakat istimewa
sebagai pemahat ahli dan dari golongan yang amat dihormati. Keluarga yang amat
dihormati dan disegani, Nabi Ibrahim mampu menentang penyimpangan yang terjadi
pada keluarga dan masyarakatnya.
Nabi
Ibrahim kecil sering sekali bermain-main dengan patung-patung buatan ayahnya.
Saatu hari, Nabi Ibrahim menunggangi punggung patung Mardukh. Saat itu ayahnya
marah, dan meminta Nabi Ibrahim lekas turun dari punggung patung buatannya.
Nabi
Ibrahim bertanya, “Patung apakah ini ayahku? Kedua telinganya besar, lebih
besar dari telinga kita.”
Ayahnya menjawab, “Namanya Mardukh, tuhan dari para tuhan. Kedua telinganya yang besar, sebagai simbol kecerdasannya yang luar biasa.”
Ayahnya menjawab, “Namanya Mardukh, tuhan dari para tuhan. Kedua telinganya yang besar, sebagai simbol kecerdasannya yang luar biasa.”
Lantas
Nabi Ibrahim kembali bertanya, “Siapa yang menciptakan manusia, wahai ayahku?”
Ayahnya kembali menjawab, “Manusia, akulah yang membuatmu, dan ayahkulah yang
membuatku.”
“Tapi
aku pernah mendengar orang tua berkata, wahai tuhan, kenapa engkau tidak
memberikanku anak?”
“Benar
anakku, tapi tuhan tidak melakukannya langsung. Dia membantu manusia, oleh
karena itu manusia harus menunjukkan kerendahannya dengan memberikan kurban.”
“Lantas,
ada berapa banyak tuhan itu ayah?” “Tidak ada jumlahnya Ibrahim.”
“Kalau
begitu, kalau aku hanya patuh pada satu tuhan, apakah tuhan yang lain akan
marah? kalau tuhan yang lain marah, aku takut tuhanku akan dibunuh, lalu
setelah itu aku yang dibunuh.” “Jangan terlalu khawatir Ibrahim, tidak akan
terjadi permusuhan sesama tuhan.”
“Dari
apa tuhan-tuhan itu diciptakan?”
“Dari
kayu-kayu pelepah kurma, dari kayu-kayuzaitun, nah kalau yang berhala kecil itu
dari gading. Lihatlah, sangat indah bukan? Hanya saja, patung tidak memiliki
napas.”
“Kalau
tuhan tidak memiliki napas, artinya mereka tidak memiliki kehidupan. Bagaimana
para tuhan memberikan kehidupan, bila mereka saja tidak memilikinya? Pasti,
mereka bukan tuhan yah..” Mendengar jawaban Nabi Ibrohim, ayahnya marah,
berang, dan memukul Nabi Ibrohim.
Hari
telah berlalu, Nabi Ibrahim tumbuh menjadi pemuda remaja. Kebenciannya pada
patung-patung, tidak pernah surut. Nabi Ibrahim memperhatikan patung-patung itu
tidak pernah makan maupun minum, juga tidak mampu berbicara. Bahkan, seandainya
ada yang membalik patung itu, Nabi Ibrohim yakin, patung itu tidak mampu
bangkit pada posisi semula.
Nabi
Ibrahim terus saja berpikir, bagaimana manusia yang berakal membuat patung
dengan tangannya sendiri, lantas sujud dan menyembahnya. Menyembah apa yang
dibuatnya sendiri. “Bukankah yang demikian sangat mengherankan?” tanya Nabi
Ibrahim di dalam hatinya.
Suatu
hari, Nabi Ibrahim diajak ayahnya ke mihrab. Tempat di mana banyak jenis dan
ukuran berhala dikumpulkan di dalam mihrab. Semua orang datang dengan pandangan
tunduk dan hormat, bahkan ada yang sampai menangis tersedu-sedu.
Nabi
Ibrahim justr datang dengan pandangan sinis dan menantang, membuat aneh
orang-orang di sekitar. Kebetulan, di tempat penyembahan itu ada sebuah pesta,
ada juga seorang dukun di sana yang memimpin doa masyarakat kepada para berhala
itu.
Di
tengah keheningan doa, tiba-tiba Nabi Ibrahim berbicara, “Hai dukun, para
patung itu tidak mendengarmu, Apakah kamu juga yakin patung itu mendengar
doamu?”
Sontak
masyarakat hampir saja marah dengan pertanyaan Nabi Ibrahim. Lantas, buru-buru
ayahnya menjelaskan dan segera membawa Nabi Ibrahim pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Nabi Ibrahim yang diminta segara tidur oleh ayahnya
justru kabur ke salah satu gua.
Nabi
Ibrahim terus saja berpikir, mustahil baginya patung-patung itu menjadi tuhan
bagi kaumnya. Nabi Ibrahim lantas termenung bersandar pada dinding gua, pandangan
matanya menatap lurus kelangit malam hari.
Di
sana ia melihat begitu banyak bintang yang indah. Lantas Nabi Ibrahim berpikir,
mingkin inilah tuhanku. Sama seperti golongan yang kedua yang menyembah
bintang-bintang. Nabi Ibrahim mempercayai itu. Kemudian, Nabi Ibrahim melihat
bintang yang besar yaitu bulan. Nabi Ibrahim pun menyerukan pada kaumnya, bahwa
tuhan mereka adalah bulan yang cahayanya lebih terang dari bintang yang banyak
itu.
Di
kemudian hari, Nabi Ibrahim kembali tidak mendapati bulan di langit. Nabi
Ibrahim kembali berpikir, bulan juga menghilang sama sepertihalnya
bintang-bintang kecil. Nabi Ibrahim juga berpikir, pada esok pagi, bulan juga
menghilang. Justru ada cahaya yang lebih besar dari bulan.
Cahaya
yang lebih kuat yaitu matahari. Lalu, Nabi Ibrahim meyakini inilah tuhannya,
tuhan yang paling terang, tuhan yang paling kuat. Lantas, Nabi Ibrahim kembali
kecewa. Saat malam datang, matahari tenggelam. Tuhan tidak mungkin tenggelam
pikir Nabi Ibrahim.
Nabi
Ibrahim AS, merenungi dengan sangat apa-apa yang telah dilaluinya. Otaknya
terus saja berpikir, tentang sesuatu yang paling kuat, sesuatu yang paling
terang, dan sesuatu yang tidak mungkin tenggelam. Nabi Ibrahim menyakini, bahwa
bintang-bintang yang dikaguminya, bahwa bulan dan matahari yang diikutinya,
semuanya bisa muncul kemudian menghilang.
Tuhan
tidak mungkin seperti itu. Nabi Ibrahim meyakini, bahwa Tuhanlah yang
menjadikan mereka, Tuhanlah yang memunculkan dan menenggelamkan mereka.
Tuhanlah yang menciptakan mereka, alam semesta, termasuk menciptakan dan
memberi kehidupan bagi manusia.
Sumber: Sejarah nabi-nabi Allah SWT, Ahmad Bahjat, Lentera Basritama
Sumber: Sejarah nabi-nabi Allah SWT, Ahmad Bahjat, Lentera Basritama
0 komentar:
Post a Comment