header ads
WHAT'S NEW?
Loading...

TAFSIR BI AR-RA'YI

BAB I
PENDAHULUAN

Perbedaan adalah sebuah Sunnatullah kehidupan. Setiap orang melihat suatu masalah dari sudut pandang, lalu memberikan kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil pemikirannya. Hal yang sama juga terjadi dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ikhtilaf atau perbedaan pandangan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah juga terjadi sejak dahulu.
Kami bertujuan memaparkan secara singkat tentang tafsir bi Ar-Ra’yi serta menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an tersebut. Tentu saja dengan harapan agar kita dapat memahami dan mengambil sikap yang tepat menghadapi perbedaan tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir bi-Ra’yi
Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Al-Jurzani: Tafsir berarti الكشف والاظهار (menyingkap/membuka dan melahirkan).Tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad manusia untuk menyingkapkan nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti keyakinan (i’tiqad), analogi (qiyah), dan ijtihad. Dan ri’yi dalam terminologi dalam tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir ar-ra’yi (disebutn juga tafsir addirayah)- sebagaimana didefinisikan Adz-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya di ambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab, dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan serta problema penafsiran, seperti asbab nuzul, dan nasikh-mansukh. Adapun Al-Fararnawi mendefinisikannya sebagai berikut Menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad setelah si mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab berbicara dan mengetahui kosakata-kosakata Arab beserta muatan artinya. Untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, si mufassir pun di bantu oleh Sya’ir Jahiliyah, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lainnya yang dibutuhkan oleh seorang mufassir.. Sebagian diutarakan pada penjelasan pada syarat-syarat menjadi mufassir.
Tafsir bi ar-Ra’yi muncul sebagai buah “corak” penafsiran belakang setelah munculnya tafsir bi al-Ma’tsur walaupun sebelum ra’yi dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur’an. Apalagi kalau kita tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
As-Sayuthi mengutip pendapat Zarkasyi dalam al-Burhan mengenai syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh seorang agar ia boleh menafsirkan al-Qur’an berdasarkan Ra’yu , syarat-syarat pokok itu berkisar di sekitar empat soal:
1. Berpegang pada hadits-hadits berasal dari rasul SAW dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif dan maudhu’
2. Berpegang pada ucapan sahabat nabi karena apa yang mereka katakan, menurt peristilahan hadits hukumnya mutlak marfu’ (sahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat (ar-ra’yu)
3. Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa Arab dan harus tetap berhati-hati jangan sampai menafsirkan ayat-ayat menyimpang dari makna lafadz yang semestinya, sebagaimana banyak terdapat di dalam pembicaraan orang-orang Arab,
4. Berpegang teguh pada maksud ayat dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara’. Itulah yang dimaksud Rasulullah alam doa beliau bagi Ibnu Abbas, yaitu: “Ya Allah, Limpahkanlah kedalaman ilmu agama kepadanya dan ajarkanlah takwil kepadanya”

B. Faktor munculnya tafsir bi-Ra’yi
Adapun faktor yang mendorong timbulnya tafsir Bir-Ra’yi adalah:
1. Mereka yang menggunakan Ra’yi dikarenakan mereka tidak menemukan permasalahan tersebut dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw.
2. Berniat memperluas dan menafsirkan apa-apa yang belum jelas atau yang masih dangkal pengertiannya.
3. Berniat mengaktualisasikan ajaran Al-Qur’an sesuai dengan masa dan tempat.
4. Sudah berkembangnya ilmu nahwu, lughah, balaghah, kalam, kaidah-kaidah ushul, musthalah, ilmu hikmah, falsafah dan mantiq.
5. Perbedaan antara mufassir yang satu dengan yang lain, baik dari segi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, pendidikan, tempat dan masa.
6. Hasil dialektika historis pada pasca nabi wafat, memunculkan banyak persoalan. Banyaknya persoalan tersebut menuntut kaum muslimin untuk menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an, maka mereka melakukan ijtihad dengan akal mereka.

C. Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi
Terjadinya ikhtilaf pada ranah tafsir ini memiliki kuantitas yang jauh lebih banyak dari ranah sebelumnya (tafsir bil-ma’tsur). Ini tidaklah mengherankan, sebab landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitasnya berbeda-beda pada setiap mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi dalam jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
1. Meyakini makna (baca: ide) tertentu sebelum menafsirkan al-Qur’an, lalu kemudian membawa lafazh-lafazh qur’ani kepada makna yang telah diyakini sebelumnya itu.
Ada orang yang sebelumnya telah “tertawan” oleh keyakinan atau ide tertentu, lalu kemudian berusaha mencari pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur’an. Usaha itu kemudian nampak sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan, karena kesimpulan yang lahir kemudian bukanlah kesimpulan yang tercakup dalam teks-teks al-Qur’an, tetapi kesimpulan yang dipaksa-paksakan untuk masuk kedalamnya.
Salah satu contoh paling jelas misalnya apa yang dilakukan kelompok Bathiniyah saat menafsirkan surah Yusuf, ayat 4:
              
(ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku[742], Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang dimaksud dengan ‘Yusuf’ tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn Abi Thalib...dimana Husain berkata kepada ayahnya pada suatu ketika, ‘Sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam..”

2. Menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia.
Dengan kata lain, para penempuh metode ini hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an. Seperti saat memahami ayat

 •                                
Artinya: Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu[642] adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.(QS. At-taubah:37)

Kata “al-Nasi’” bila ditinjau dari sudut bahasa saja adalah “al-ta’khir” atau pengakhiran. Tapi dengan membaca kisah ayat ini kita dapat memahami bahwa yang dimaksud adalah pengakhiran bulan-bulan haram dan menghalalkan apa yang diharamkan di dalamnya.
Hal inilah yang menyebabkan Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210H) -misalnya- menuai kritik, termasuk dari ulama sezamannya, seperti: al-Ashma’iy, Abu Hatim al-Sijistany, al-Farra’ dan al-Thabary. Sebabnya tidak lain karena ia hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa mempertimbangkan asbab al-nuzul dan hal-hal lain yang mengitarinya.
Para sahabat merasa gelisah. “Siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat zhalim?” tanya mereka. Ini berarti ketika ayat ini turun, mereka serta memahaminya dari sudut kebahasaan saja. Sampai akhirnya Rasulullah saw menjelaskan bahwa “kezhaliman” dalam ayat ini tidak seperti yang mereka pahami, karena yang dimaksud adalah kesyirikan. Seperti yang terdapat dalam surah Al-Luqman, ayat 13:
              
Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Kisah ini setidaknya menunjukkan 2 hal penting:
- Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode yang “sah-sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
- Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqly-lah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an.
Akhirnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam kategori ikhtilaf tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah dalam Islam adalah merupakan bukti nyata akan hal ini.
D. Perdebatan di sekitar tafsir bi ar-Ra’yi
Para ulama berbeda pendapat dalam menanggapi masalah boleh tidaknya menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad.. ada yang melarang dan ada yang membolehkan:
1. Alasan golongan yang melarang.
a. Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan.Dengan demikian hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata. Pada hal Allah berfirman.QS.Al-Isra’:36
        •         
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

b. Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an hanyalah Nabi.QS.An-Nahl:44
       ••      
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,

c. Rasulullah SAW bersabda:
من قال قى القران برأيه أوبما لا يعلم قليتبوأ مقعده من النار
d. Adanya tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an.

2. Alasan golongan yang membolehkan atau membolehkan
a. Banyak ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan Al-Qur’an.contohnya.
      
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci (Qs. Muahammad: 24)
                     
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri (Qs. An-Nisa’: 83)

b. Nabi tidak menjelaskan setiap ayat Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
c. Para sahabat sering berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yi-nya. Seandainya tafsir bir ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
d. Rasulullah pernah berdo’a untuk Ibn ‘Abbas. Doa tersebut berbunyi:
اللهم فقه فى الدين وعلمه التأويل
“ Ya Allah, berilah pemahaman agama kepada Ibn ‘Abbas dan ajarilah ia takwil “

E. Tafsir bi Ar-Ra’yi yang tidak diterima
Di antara contoh tafsir yang tidak diterima adalah sebagai berikut:
a. Penafsiran golongan Syia’ah terhadap kata al-Baqarah ayat 67 dengan Aisyah
b. Penafsiran sebagian mufassir terhadap surat Al-Baqarah ayat 74.
            •        •        •            
“Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah”.
Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara dan jatuh karena Allah, seperti teks di atas.
c. Penafsiran sebagian mufassir terhadap ayat An-Nahl ayat 68:
            
”Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia"
Mereka berpendapat bahwa di antara lebah-lebah itu, ada yang diangkat sebagian nabi yang diberi wahyu oleh Allah. Kemudian mereka mengemukakan cerita-cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu sebagian lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah tersebut menggunakan tetesan lilin itu untuk membuat sarang-sarang dan madu.
d. Penafsiran sebagian orang terhadap surat Ar-Rahman ayat 33
                
Hai Jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.
Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuan mendarat di bulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu mengandung pengertian demikian.
e. Penafsiran sebagian orang terhadap surat Al-Humazah Ayat 6 – 7:
        
(yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, Yang (membakar) sampai ke hati.
Mereka berpendapat ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil di temukan pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka menyeret ayat si atas pada makna yang tidak mungkin jika dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

F. Tafsir bi Ar-Ra’yi yang dapat di percaya
a. Mafatih Al-Ghalib, karya Fakhr Ar-Razi (w. 606 h)
b. Anwar At-Tanzil wa Asar At-Takwil, karya Al-Baidhawi (w. 691 h)
c. Madarik At-Tanzil wa Haqa’iq At-Takwil, karya An-Nasafi (w. 701 h)
d. Lubab At-Takwil fi Ma’ani At-Takwil, karya Al-Khazim (w. 741 h)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh Penafsir al-Qur’an berdasarkan Ra’yu, syarat-syarat pokok itu berkisar di sekitar empat soal, yaitu:
- Berpegang pada hadits-hadits berasal dari rasul SAW dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif dan maudhu’
- Berpegang pada ucapan sahabat nabi karena apa yang mereka katakan, menurt peristilahan hadits hukumnya mutlak marfu’ (sahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat (ar-ra’yu)
- Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa Arab dan harus tetap berhati-hati jangan sampai menafsirkan ayat-ayat menyimpang dari makna lafadz yang semestinya, sebagaimana banyak terdapat di dalam pembicaraan orang-orang Arab
- Berpegang teguh pada maksud ayat dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara’. Itulah yang dimaksud Rasulullah alam doa beliau bagi Ibnu Abbas, yaitu: “Ya Allah, Limpahkanlah kedalaman ilmu agama kepadanya dan ajarkanlah takwil kepadanya”

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Rosihon, Ilmu Tafsir, CV. Pustaka Setia, Bandung: 2005
Dr. Subhi as-Shalih, Membahas tentang ilimu-ilmu al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta:2004
http://almakmun.com/?p=347, Memahami Tafsir bi Ra’yi, di post pada tanggal 14 Juni 2010
http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item, Ikhtilaf Ulama dalam Tafsir Al-Qur’an, di post pada tanggal 14 Juni 2010

0 komentar: