Sehubungan dengan berwirausaha dengan
membeli bisnis yang
sudah ada, dikenal istilah franchise yang sudah di-Indonesia-kan menjadi
waralaba. Waralaba berasal dari kata “wara” artinya lebih dan “laba”
artinya
untung. Dari arti secara harfiah tersebut, maka dapat diketahui bahwa
warabala
merupakan usaha yang memberikan keuntungan lebih/istimewa. Di samping
pengertian tersebut, ada pengertian waralaba menurut doktrin,
sebagaimana yang
dikemukakan oleh Suharnoko : “Franchise pada dasarnya adalah sebuah
perjanjian
mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen”.
Pemilik dari
metode ini disebut “franchisor” sedang pembeli yang berhak untuk
menggunakan
metode itu disebut “franchisee”. Berdasarkan pengertian-pengertian di
atas,
diketahui bahwa waralaba merupakan salah satu bentuk format bisnis
dimana pihak
pertama yang disebut pemberi waralaba (franchisor) memberikan hak kepada
pihak
kedua yang disebut penerima waralaba (franchisee) untuk mendistibusikan
barang/jasa dalam lingkup area geografis dan periode waktu tertentu
dengan
mempergunakan merek, logo, dan sistem operasi yang dimiliki dan
dikembangkan
oleh franchisor. Pemberian hak ini dituangkan dalam bentuk perjanjian
waralaba.[1]
Perjanjian waralaba tersebut merupakan
salah satu aspek
perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak yang
lain.
Hal ini dikarenakan perjanjian dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk
menegakkan perlindungan hukum bagi para pihak. Jika salah satu pihak
melanggar
isi perjanjian, maka pihak yang lain dapat menuntut pihak yang melanggar
tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Perjanjian Waralaba
(Franchise
Agreement) memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang
dibuat dan
dikehendaki oleh franchisor bagi para franchisee-nya.[2]
Di
dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan berkaitan dengan hak dan
kewajiban franchisee dan franchisor, misalnya hak teritorial yang
dimiliki
franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang
harus
dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan berkaitan dengan
lama
perjanjian waralaba dan perpanjangannya dan ketetentuan lain yang
mengatur
hubungan antara franchisee dengan franchisor.[3]
Hal-hal yang diatur oleh hukum dan
perundang-undangan
merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian
waralaba. Jika para pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak
akan
muncul masalah dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Akan tetapi sering
terjadi das sein menyimpang dari das sollen. Penyimpangan ini
menimbulkan
wanprestasi. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah
satu
pihak. Terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan perjanjian
waralaba
ini berlaku perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan, yaitu pihak
yang
dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan
kerugian.[4]
Seperti perjanjian pada umumnya ada
kemungkinan terjadi
wanprestasi di dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Wanprestasi
terjadi
ketika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera
di
dalam perjanjian waralaba. Jika karena adanya wanprestasi, salah satu
pihak
merasa dirugikan, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut
pihak yang
wanprestasi untuk memberikan ganti rugi kepadanya. Kemungkinan pihak
dirugikan
mendapatkan ganti rugi ini merupakan bentuk perlindungan hukum yang
diberikan
oleh hukum positif di Indonesia.
Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan
oleh para pihak
dalam perjanjian waralaba tergantung kepada siapa yang melakukan
wanprestasi
tersebut. Wanprestasi dari pihak franchisee dapat berbentuk tidak
membayar
biaya waralaba tepat pada waktunya, melakukan hal-hal yang dilarang
dilakukan
franchisee, melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang
diatur
dalam sistem waralaba, dan lain-lain. Wanprestasi dari pihak franchisor
dapat
berbentuk tidak memberikan fasilitas yang memungkinkan sistem waralaba
berjalan
dengan sebagaimana mestinya, tidak melakukan pembinaan kepada franchisee
sesuai
dengan yang diperjanjikan, tidak mau membantu franchisee dalam kesulitan
yang
dihadapi ketika melaksanakan usaha waralabanya.[5]
[1]
Juajir
Sumardi, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
[2]
Munir
Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu,
PT.Citra
Aditya
Bakti, bandung, 1994.
[3]
Eugenia Liliawati Muljono, Peraturan
Perundang Undangan Waralaba (Franchise)
Harvarindo, Jakarta, 1998.
[4]
Abdulkadir Muhammad : Hukum
Perjanjian,
Alumni, Bandung, 1986.
[5]
Munir
Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu,
PT.Citra
Aditya Bakti, bandung, 1994
0 komentar:
Post a Comment