Hadits ke-1
Abdullah Ibnu Mas'ud
Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda
pada kami: "Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara kalian telah
mampu berkeluarga hendaklah ia kawin, karena ia lebih dapat menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaklah berpuasa,
sebab ia dapat mengendalikanmu." (Muttafaq 'Alaihi)
Studi Sanad
Hadits ini termasuk hadits yang
paling sahih secara takhrij dan sanad. Secara takhrij, karena hadits tersebut
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sedangkan secara sanad karena hadits
tersebut melewati jalur yang paling valid secara mutlak (Ashah Al Asanid), yaitu
Sulaiman bin Mihran Al A'masy dari Ibrahim An-Nakha'i dari 'Alqamah bin Qais An-Nakha'i
dari Abdullah bin Mas'ud. Silsilah sanad tersebut dinilai sebagai sanad terbaik,
seperti silsilah sanad Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar.
Imam Bukhari dan Nasa'i juga
meriwayatkan hadits yang sama dari Al-A'masy dengan jalur yang berbeda, yaitu
dari 'Ammarah bin 'Umair dari Abdurrahman bin Yazid. Sanad tersebut sahih. Jadi,
Al-A'masy memiliki dua jalur dalam riwayat hadits ini.
Asbabul Wurud (Sebab Turunnya Hadits)
Imam Bukhari dan Nasa'i
meriwayatkan dari Al-A'masy, dia berkata: 'Ammarah dari Abdurrahman bin Yazid
berkata: Aku bersama 'Alqamah pernah mendatangi Abdullah (Ibnu Mas'ud), lalu
beliau (Ibnu Mas'ud) berkata: Dahulu kami adalah para pemuda yang tidak
memiliki sesuatu apapun, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
"Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu
berkeluarga hendaknya ia kawin, dst".
Dalam riwayat Muslim: Aku (Abdurrahman
bin Yazid) dan pamanku ('Alqamah) dan Al Aswad pernah mendatangi Abdullah bin
Mas'ud. Beliau (Ibnu Mas'ud) berkata: "Pada saat itu aku masih seorang
pemuda". Lalu beliau menyebutkan hadits itu, seolah-olah beliau
menyebutkannya karena aku. Tak lama setelah itu pun aku menikah.
Gharibul Hadits (Istilah-Istilah Asing)
Ma'syar, artinya sekelompok
atau segenap orang yang memiliki sifat tertentu, seperti segenap pemuda, segenap
orang tua, segenap para nabi dan sebagainya.
Syabab: bentuk plural (jamak) dari Syab, artinya
para pemuda.
Ba'ah, secara bahasa berarti
jima' (bersenggama) kemudian dipakai untuk menyatakan akad nikah.
Wija', artinya tameng. Orang
yang berpuasa seolah-olah memiliki tameng yang dapat melindungi dirinya.
Musykilul Hadits
Imam Nawawi dalam kitabnya
Syarah Muslim[1] mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai maksud
dari kata Ba'ah dalam hadits tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang
dimaksud Ba'ah di sini adalah maknanya secara bahasa, yaitu jima'. Jadi bunyi
hadits tersebut menjadi, "Barangsiapa di antara kalian telah mampu berjima',
hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu berjima', hendaklah ia berpuasa
untuk menahan syahwat dan air maninya, sebagaimana tameng yang menahan serangan".
Jika yang dimaksud Ba'ah adalah
jima', maka objek dari hadits tersebut adalah para pemuda yang memiliki hasrat
yang besar terhadap lawan jenisnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa
yang dimaksud Ba'ah adalah kemampuan seseorang untuk memberikan nafkah dan
keperluan pernikahan. Jadi, bunyi haditsnya menjadi, "Barangsiapa di
antara kalian telah mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah
ia menikah. Barangsiapa belum mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan,
hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwatnya".
Makna dan Uslub
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam mengarahkan anjuran dan motivasi untuk menikah ini kepada para seluruh
umatnya, khususnya para pemuda. Beliau bersabda, "Wahai segenap para
pemuda". Kata "Ma'syar" yang berarti "segenap" menyiratkan
makna kemanusiaan dan sosial yang menjadi ciri masyarakat Islam. Beliau tidak
menggunakan kata lain seperti "Ya Ayyuha Syabab" misalnya, karena
kata "Ma'syar" memiliki nuansa cinta dan kasih sayang dalam komunitas
muslim. Hal ini merupakan salah satu bentuk kepedulian Islam terhadap persoalan
para pemuda, sehingga Islam memberikan perhatian yang khusus bagi mereka, yaitu
anjuran untuk segera menikah bagi yang telah mampu.
"Barangsiapa belum mampu, hendaklah
ia berpuasa". Beliau menggunakan kata "Alaihi" yang berarti "hendaklah"
untuk menyatakan makna banyak. Artinya, "hendaklah ia memperbanyak
berpuasa". Beliau tidak menggunakan kata "Fal Yashum" misalnya, yang
berarti "berpuasalah", karena kata itu bermakna puasa yang sehari
atau dua hari saja. Adapun kata "Alaihi Bishoum" bermakna
memperbanyak berpuasa.
Hadits tersebut di atas juga
memberikan hikmah yang sangat penting dalam pernikahan, yaitu "karena ia
lebih mampu menjaga pandangan dan lebih mampu memelihara kemaluan". Ini
merupakan jaminan yang sangat penting bagi umat manusia yang ingin memelihara
pandangan dan kemaluannya.
Dalam hadits tersebut terdapat
Shighat Tafdhil yaitu kata "Aghaddu" dan "Ahshonu" yang
berarti "lebih mampu menundukkan" dan "lebih mampu memelihara"
untuk menunjukkan tujuan daripada pernikahan, yaitu terpeliharanya pandangan
dan kemaluan. Kata tersebut juga memberikan pemahaman bahwa keimanan memiliki
kemampuan menundukkan dan memelihara sebagian pandangannya, sedangkan
pernikahan memiliki kemampuan yang lebih besar dan kuat[2].
Kemudian hadits tersebut juga
memberikan pengarahan bagi para pemuda yang belum mampu melaksanakan pernikahan
untuk memperbanyak berpuasa, karena puasa mampu menahan gejolak syahwat.
Isntinbath (Hukum Fikih)
Hadits di atas mengandung hukum-hukum
yang sangat penting berkaitan dengan masalah sosial, di antaranya yaitu:
1.
Anjuran dan motivasi yang sangat kuat untuk
menikah
Secara lahir, hadits tersebut
menunjukkan wajibnya menikah bagi yang telah mampu. Tentunya yang dimaksud
mampu di sini sesuai dengan pengertian yang telah kita bahas di depan. Pendapat
inilah yang diambil oleh para ulama dari kalangan Zhahiriyah[3] dan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad[4].
Sedangkan mayoritas (jumhur) ulama
dan riwayat yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad mengatakan bahwa hukum menikah
bagi yang telah mampu dalah sunnah, bukan wajib. Tentu saja dengan syarat ia
mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa (seperti zina, onani, masturbasi, dsb).
Jika tidak, maka hukum menikah menjadi wajib baginya menurut kesepakatan
seluruh ulama.
2.
Hukum menikah bagi setiap orang berbeda-beda
sesuai kondisinya
Berikut ini rinciannya:
- Wajib,
bagi yang khawatir terjerumus ke dalam perbuatan dosa, sementara ia mampu
menikah.
- Haram,
bagi yang belum mampu berjima' dan membahayakan kondisi pasangannya jika
menikah.
- Makruh,
bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika menikah justru menjadikan
kewajibannya terbengkalai.
- Sunnah,
bagi yang memenuhi kriteria dalam hadits di atas sedangkan ia masih mampu
menjaga kesucian dirinya.
- Mubah,
bagi yang tidak memiliki pendorong maupun penghalang apapun untuk menikah[6].
Ia menikah bukan karena ingin mengamalkan sunnah melainkan memenuhi
kebutuhan bilogisnya semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam
kemaksiatan.
Akan tetapi penelitian
menunjukkan bahwa poin terakhir ini hukumnya sunnah sebagaimana sebagian ulama
mengambil pendapat ini berdasarkan hadits-hadits yang berisi anjuran untuk
menikah secara mutlak.
Qodhi Iyadh berkata: hukum
menikah adalah sunnah bagi yang ingin menghasilkan keturunan meskipun ia tidak
memiliki kecenderungan untuk berjima', berdasarkan hadits "Sesungguhnya
aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian (umatku)" dan juga hadits-hadits
yang secara lahir berisi anjuran untuk menikah.
Hadits-hadits yang berisi
anjuran untuk menikah ini sangatlah banyak sehingga semakin menguatkan perintah
ditekankannya menikah bagi yang telah mampu meskipun ia masih dapat menjaga
kesucian dirinya[7].
3.
Menikah merupakan solusi yang tepat dalam mencegah
tersebarnya penyakit masyarakat, yaitu perzinahan, pemerkosaan, seks bebas dan
lain sebagainya.
4.
Hadits tersebut juga menjadi renungan bagi para
pemerhati masalah sosial agar memberikan perhatian yang serius kepada para
pemuda, kerena mereka merupakan tulang punggung peradaban umat. Jika para
pemuda di suatu komunitas baik, maka baiklah urusan mereka. Wallahu A'lamu
Bishowab.
[1] Syarah Muslim juz 5 hal. 173
[2] Ibnu Daqiq Al 'Iid, Ihkam Al Ahkam juz 4 hal. 23
[3] Al Muhalla juz 9 hal. 440-441
[4] Fathul Bari juz 9 hal. 95
[5] Fathul Bari juz 9 hal. 95; Syarah Nawawi juz 9
hal 173-174.
[6] Ibnu Daqiq Al 'Iid, Al Ihkam 2/181; Ibnu
Abidin: 2/358; Minahul Jalil: 2/322; Syarbini: 3/125; Al Mughni: 6/446
[7] Lihat At Targhib wat Tarhib juz 3 hal. 34
0 komentar:
Post a Comment