Dengan mempertimbangkan hukum positif yang
berlaku serta adat kebiasaan yang dianut masyarakat dan hasil kajian
historis-sosiologis maka perlu sekali dikembangkan konsep-konsep hukum yang
Islami yang bersumberkan pada al-Qur’an, hadits Rasulullah yang shahih sebagai
sumber naqli ilmu pengetahuan hukum, sebagai sumber ijtihadi serta hasil
musyawarah dari para ahlinya. Bagi kita yang sekarang sedang melaksanakan
pembangunan, maka pengkajian konsep Islam tentang tata hukum dan perkembangan
fiqih akan dapat memberikan bahan masukan dapat menghadapi tantangan masa depan
pembangunan termasuk dampak negatif dalam bidang kemasyarakatan yang
menyertainya.
A. Kaidah Fiqh tentang Prinsip-prinsip Ijtihad
Perlu diteliti kembali
tentang arti dan cakupan prinsip maslahah (kepentingan umum), serta
upaya dalam memberikan konseptualisasi kontemporer terhadap prinsip ijtihad.
Syaikh Ahmad Zaky Yamami, sangatlah menakjubkan dalam orientasinya yang liberal
tentang konsep maslahat dan dalam pernyataan-pernyataan yang sangat umum, akan
tetapi contoh-contoh yang dikemukakannya dari perbendaharaan hukum islam klasik
tidak memadahi bagi kandungan generalisasi yang dibuatnya.
Pernyataan Yamami bahwa
perbedaan antara illah (alasan) dan hikmah (tujuan) suatu hukum
hanya bertalian dengan aspek ibadah dan kasus-kasus sekuler, keduanya yaitu illah
dan hikmah identik, dapat disepakati. Akan tetapi dalam bidang sosial
tidak terdapat perbedaan antara illah dan hikmah. Dalam titik
ini, tidak dapat disepakati jika bidang sosial diistilahkan sebagai sekular,
karena seseorang tentu saja bisa menyatakan bahwa hukum Islam yang diperoleh
dari al-Qur’an dan sunnah oleh kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyyah, misalnya
sekuler selanjutnya, pembedaan antara illah dan hikmah tidak dapat dipertahankan.
Sedangkan menurut pendapat
al-Syaukani membolehkan dan menghalalkan segala sesuatu untuk dimakan atau
dilakukan selama tidak ada larangan dari syara’. Inilah prinsip yang paling
fundamental dalam muamalah. Bahkan, kalau di dalamnya terdapat unsur
tolong-menolong antar sesama muslim, hukumnya bisa berubah menjadi sunnah atau
wajib. Prinsip ini dipegang pula. Oleh jumhur ulama fiqh, kecuali oleh sebagian
ulama Hanafiyah –yang menurut al-Sayuti– memegang prinsip bahwa yang (menjadi
pegangan) pokok pada segala sesuatu adalah tidak diperbolehkan sampai ada dalil
yang membolehkan.
Islam sebagai agama yang
membawa rahmat bagi alam semesta menghendaki agar segenap manusia hidup dalam
keadaan tentram dan sekaligus mengenyahkan adanya bahaya yang menimpa manusia,
Nabi bersabda: “Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh pula
menimbulkan bahaya atas orang lain”. HR. Ibnu Majah.
Bertolak dari prinsip
demikian, maka sesuatu yang pada dasar hukumnya mubah dapat berubah menjadi
haram. Dari itu, maka segala sesuatu yang ada di bumi ini hukum asalnya adalah
mubah, tetapi bisa berubah menjadi haram apabila di dalamnya terdapat sesuatu
yang membahayakan. Dengan demikian, memakan sesuatu yang mengandung racun tidak
dibolehkan karena membahayakan si pemakannya. Demikian pula meminum minuman
keras dilarang, karena bahaya lebih besar daripada manfaatnya. Sebaliknya,
sesuatu makanan yang hukum asalnya haram bisa berubah menjadi mubah karena
tanpa makanan tersebut akan timbul bahaya. Misalnya, seseorang yang sedang
ketiadaan makan, boleh baginya memakan daging, kalau tanpa memakan daging babi
itu mengakibatkan ia meninggal.
Para ulama usul, termasuk
al-Syaukani, melihat bahwa bahaya yang dapat menghalalkan yang haram, atau
mengharamkan yang halal ialah apabila bahaya tersebut dapat merusak salah satu lima
hal, yaitu:
1. Jiwa
2. Harta
3. Keturunan
4. Agama
5. Akal.
Secara umum syariat Islam
bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan
kerusakan. Oleh sebab itu, setiap perintah Ilahi senantiasa bertujuan untuk
membawa kepada kemaslahatan dan setiap larangan-Nya atas sesuatu senantiasa
pula karena hal tersebut mengandung atau mengandung kepada kerusakan.
B. Kaidah Fiqh tentang Pengembangan-pengembangan Hukum
Al-Qur’an menyebut dirinya
sebagai petunjuk (dokumen) bagi manusia yang padu dan kohensif dan tidak
mengandung kontradiksi. Ia adalah wahyu Ilahi yang diturunkan dalam suatu
situasi historis yang konkrit bukan dalam situasi vakum berisi berbagai solusi,
komentar dan respon terhadap situasi historis yang dihadapi Nabi saw dan para
sahabat.
Proyeksi pemahaman al-Qur’an
kepada situasi terkini bukannya tanpa dasar pijakan yang kuat, karena berbagai
contoh yang jelas mengenai hal ini. Bahkan hal ini merupakan bukti keberhasilan
mereka dalam mengapresiasikan pesan-pesan al-Qur’an dan sekaligus
mengaktualisasikannya. Dengan penumbuhan semacam ini berbagai problem dan
tantangan yang dihadapi kaum muslimin dewasa ini dapat dijawab dan keberadaan
al-Qur’an sebagai suatu way of life masih tetap dapat dipertahankan.
Upaya-upaya untuk
membuktikan pesan-pesan ajaran al-Qur’an dalam situasi kekinian, maka perhatian
yang mendalam hendaklah diarahkan kepada empat komponen pokok yang saling
terkait erat :
1. Konteks sastra al-Qur’an, konteks dimana suatu term tertentu muncul
atau digunakan di dalam al-Qur’an, yang mencakup baik ayat-ayat yang terdapat
sebelum maupun sesudah term itu.
2. Pengembangan term yang dikandungnya dalam bentangan kronologi al-Qur’an.
3. Konteks kesejarahan global, berupa historical background Arabia
pra dan pada masa pewahyuan al-Qur’an dan konteks historis langsung asbab nuzul.
4. Konteks sosio historis kontemporer yang merupakan lahan penumbuhan
gagasan al-Qur’an.
C. Kaidah Fiqh tentang Berbagai Permasalahan
Klasifikasi Muhaqqi membagi
permasalahan fiqih atas empat bagian:
1.
Ibadah
2. Perjanjian dua pihak
3. Perjanjian sepihak
4.
Perintah-perintah
Jika amal perbuatan itu dari
yang pertama, seperti shalat, puasa, khums, zakat, haji dan seterusnya, dalam
fiqh diistilahkan sebagai ibadah.
Namun, jika amal perbuatan
itu dari jenis yang kedua dan niat mendekatkan diri tidak merupakan syarat
keabsahannya, dan anggaplah ia dilaksanakan dengan niat lain, ia masih dianggap
benar dan sah, maka amal perbuatan itu terdiri dari dua jenis. Apakah
pelaksanaannya bergantung pada pengesahan atas suatu perjanjian khusus atau
tidak.
Dalam klasifikasi ini semua
pasal fiqih telah dibagi dalam lima
puluh dua pasal. Sepuluh tentang ibadah, sembilan belas pasal mengenai
perjanjian, sebelas pasal mengenai dorongan sepihak dan 12 pasal mengenai
perintah.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa prinsip-prinsip ijtihad yang paling fundamental adalah membolehkan dan
menghalalkan segala sesuatu untuk dimakan atau dilakukan selama tidak ada
larangan dari syara’.
Upaya-upaya untuk membumikan pesan-pesan
ajaran al-Qur’an dalam situasi kekinian, maka perhatian yang mendalam hendaklah
diarahkan pada empat komponen pokok yang saling terkait erat, yaitu:
1) Konteks sastra al-Qur’an;
2) Perkembangan term;
3) Konteks kesejarahan global;
4) Konteks sosio-historis kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Mu’alimin, Yusdari, Ijtihad
dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta :
UII-Press, 2004.
Nasrun Rusli, Konsep
Ijtihad al-Syaukani, Jakarta :
PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ayatullah Qadir ash-Shadr,
A Short History of Ilmu Ushul, Jakarta :
Pustaka Hidayah, 1993.
0 komentar:
Post a Comment