Kewalian Dalam Dunia Tasawuf
A. Pengertian Wali
Kata wali diambil dari firman Allah :[3]
الله ولي الذين آمنوا
“Allah SWT adalah wali-Nya orang-orang yang
beriman”.
وهو يتولى الصاليحين
“Dan Dia Allah SWT yang mengendalikan segala urusan
orang-orang yang salih dengan memberikan pertolongan kepada mereka”. (al-A’raf:
196)
Kalau kita kembalikan
pada pengertian dasarnya, istilah tasawuf maknanya bisa dekat, bisa juga
kekasih, bisa berarti bimbingan, atau juga pemeliharaan. Jadi pengertian wali
itu adalah orang yang dekat dengan Allah SWT, karena kedekatannya itu pula maka
ia layak menjadi kekasih Allah SWT, karena telah dekat dan sekaligus menjadi
kekasih-Nya, maka ia pun layak mendapat bimbingan dna juga pemeliharaan dari
Allah. Konsep kewalian bisa dijelaskan dari sudut relasi, yaitu relasi antara
seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Apakah dari sudut relasi itu juga dapat
menjelaskan adanya tingkatan-tingkatan di antara para wali Allah SWT itu? Kalau
berbicara tentang relasi, kondisi dan intensitas setiap manusia itu berbeda-beda.
Ada yang baru mendekat, ada yang sudah relatif dekat, ada yang sudah dekat
sekali, bahkan ada yang sudah menyatu. Karena kondisinya berbeda-beda, maka
kualitas kewaliannya pun menjadi berbeda pula. Itulah sebabnya mengapa ada
tingkatan-tingkatan wali.
Dalam al-Qur’an surat
Yunus ayat 62 sampai 64 itu disebutkan, persyaratan untuk menjadi wali hanya
dua saja (beriman dan bertaqwa). Dari ayat inilah kemudian para ulama
menyimpulkan tentang konsep waliyatul amanah atau kewalian secara umum, ada
juga yang mengistilahkannya dengan waliyatut tauhid. Menurut Ibnu Taimiyah, kewalian
secara umum itu baru konsisten atau istiqamah dalam menjalankan segala yang
diperintahkan serta menjauhi segala yang dilarang Allah SWT. Tapi belum
sepenuhnya mengerjakan yang disunnatkan. Belum meninggalkan yang dimakruhkan. Dan
untuk kategori ini seseorang belum berhak menyandang derajat kewalian dalam
pengertian yang khusus. Pandangan tentang konsep kewalian dalam pengertian yang
khusus. Pandangan tentang konsep kewalian secara khusus itu cukup beragam. Misalnya
ada yang mengklasifikasikannya menjadi 8 tingkatan, yang masing-masing
tingkatan itu menunjukkan kualitas yang berbeda. Tapi ada juga yang membaginya
menjadi lima tingkatan saja, misalnya Hakim at-Tirmidzi. Lalu siapa saja yang
sudah tergolong wali pengertian yang khusus ini? Sulit juga kalau berbicara
tentang person. Kita paling bisa berbicara tentang konsep.
B. Pembagian Wali
Secara konseptual, terdapat berbagai tingkatan pada
para wali, yaitu :
1.
Walayatul Haqqullah.
Istilah haq yang
disandarkan kepada Allah SWT itu mengandung beberapa pengertian. Dalam istilah
haq Allah SWT itu tercermin pengertian pesan, ajaran dan perintah Allah SWT. Karenanya
haqqullah bisa diartikan dengan syari’ah Allah SWT. Jadi Auliya pada tingkatan
ini adalah mereka yang sudah mampu menjalankan syari’at Allah SWT secara kaffah,
yaitu secara komprehensif dan istiqomah. Jadi tidak ada konsep kewalian yang
justru mengabaikan aspek syari’ah. Kecuali itu, istilah haqqullah juga mengacu
pada realitas wujud yang tertinggi. Jadi kewalian dalam tingkatan ini adalah
mereka yang sudah mampu berintegrasi dengan realitas yang tertinggi, yaitu
Allah SWT, pengertian berintegrasi ini tentunya harus mengacu pada apa yang
dikonsepsikan oleh para sufi itu sendiri. Ada yang mengkonsepsikan dengan
makrifah, ada yang menyebutnya ittihad, hulul dan lainnya.
2.
Waliyullah
Tidak digandengkan
dengan istilah haq lagi. Tingkatan ini untuk menggambarkan bahwa sang wali itu,
bukan berarti tidak lagi berpegang pada syari’at. Tetapi perhatian dan
orientasinya sudah pada substansi, bukan lagi berkutat pada aspek formal dari
syari’ah. Jadi dia sudah sampai pada tingkat merasakan inti atau substansi dari
syari’at. Dalam konteks ini, Imam asy-Syatibi mengistilahkan dengan hikmah
syari’at. Orang pada level ini adalah mereka yang sudah mencapai ghaayatush-shidqi
fil-‘ibadah, pucak kesungguhan dalam beribadah. Dia sudah mencapai taraf
optimal dalam kualitas ibadahnya. Ia sudah jauh melampaui batas minimal.
3.
Al-Munibbuun.
Yaitu orang-orang yang
sudah senantiasa mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah SWT. Dia sudah
berhasil menekan egonya, sudah dapat menekan kepentingan-kepentingan pribadinya,
persepsinya tentang hal-hal duniawi sudah jernih. Orang seperti ini sudah
mendekati karakter malaikat. Ada juga disebut muqarrabin, yaitu orang-orang
sudah benar-benar dekat dengan Allah SWT itu dekat. Tetapi kita baru sampai
pada tarap kognitif, tarap pemahaman betul kita tidak pernah mengubah pendirian
bahwa Allah SWT itu dekat. Saya yakin betul. Tetapi kita belum merasakan
kedekatannya. Nah, wali al-muqarrabun ini selalu dapat merasakan kedekatannya
kepada Allah SWT, dalam seluruh waktunya dan dalam sepanjang hidupnya.
4.
Al-Mufariduun.
Pada level ini berarti
sang wali sudah mencapai taraf menyendiri bersama Allah SWT untuk dapat
memahami tingkatan ini mungkin kita perlu analogi. Misalnya ada yang hendak
bertemu kepada seseorang yang sudah dikenalnya. Kalau yang masih tergolong ‘am,
kehendaknya itu kan baru pada taraf minimal. Kita kenal seseorang, kita tahu
siapa namanya, tahu pekerjaannya, tahu bagaimana karakternya, tahu di mana
rumahnya. Baru sebatas ini, kalau pada level berikutnya, misalnya: o ya kita
sudah sampai ke pekarangan rumahnya, bahkan sudah dipersilahkan masuk. Tapi
kalau pada tingkat al-muqarrabuun, o kita bukan sudah dipersilahkan masuk, tapi
kita sudah diajak ke ruang tengah. Kita sudah diajak berbicara, hanya saja
belum bertemu langsung dengannya. Sebab dia masih berada dibalik hijan. Nah, kalau
tingkatan al-mufariduun, pemilik rumah sudah menampakkan diri. Bukan sekedar
dekat bersamanya, tapi sudah berduaan dengannya.
5.
Khatamul Walaayah.
Ini juga disebut
kutubul auliya, poros tertinggi dari kewalian. Kalau pada tingkatan ini bukan
sekedar berduaan. Kalau berduaankan masih bisa dibedakan antara dirinya dengan
Tuhannya. Jadi masih ada pemisah, kita dan Dia, atau kita dengan Engkau. Sementara
pada tingkatan ini antara hamba dan Tuhan itu sudah benar-benar menyatu, tidak
ada lagi pemisah.
KESIMPULAN
Kalau melihat dari
pembahasan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa untuk mengetahui wali itu
terlalu sulit bagi kita, kita mungkin hanya bisa mengetahui sekedar mengenai
konsep, sehingga dari konsep itulah kita bisa mengenalnya secara teori yaitu walayatul
haqqullah, waliyullah, al-muniibuun, al-muqarrabuun, al-mufarriduun, khatamul
walaayah. Tapi semua itu tidak terlepas dari syar’iah, artinya meskipun
mendapat kedudukan yang bagaimana pun tingginya di sisi Allah SWT masih tetap
menjalankan ajaran syari’ah, karena di dalam al-Qur’an wali adalah orang yang
bertaqwa dan beriman.
Contoh Nabi, meskipun beliau sudah di ma’fu (ma’shum)
dari segala dosanya, tapi ibadahnya tak mau kalah dengan orang-orang yang
bertaubat nasuha, karena hal semacam itu beliau lakukan untuk memuji atau
bersyukur pada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Burnawi, Ahmad Najib, Tarekat Tanpa Tarekat, PT. Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta, 2002.
Massignon, Louis, dan Mustafa Abdur Razid, Islam
dan Tasawwuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina
Ilmu, Pare-Pare, 1976.

[1] Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf,
PT. Bina Ilmu, Pare-Pare, 1976, hlm. 117.
[2] Ahmad Najib Burnawi, Tarekat Tanpa Tarekat, PT.
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hlm. 19.
[3] Louis Massignon dan Mustafa Abdur Razid, Islam
dan Tasawwuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hlm. 77.
0 komentar:
Post a Comment