I.
PENDAHULUAN
Umum diterima bahwa wahyu yang termuat dalam Al-Qur’an
sifatnya ada yang masih global dan abstrak. Tidak mudah memahaminya secara
konkretonya. Misalnya, perintah sholat, perintah puasa, perintah membagi
warisan. Perintah dan petunjuk-petunjuk itu semua bagi kita adalah sulit
diketahui bagaimana wujudnya dalam konkreto. Padahal, bagi mereka yang beriman
maka perintah-perintah itu harus dilaksanakan bila tidak akan terkena murka
Allah SWT.
Sehubungan dengan itu, diperlukan pengolahan untuk
mendapatkan kandungan yang konkret dan praktis sehingga tinggal menggunakannya.
Dengan kata lain, Al-Qur’an itu perlu dibuat operasional yang tegas, jelas,
serta konsekuen mengikuti isi kandungan perintah tersebut agar menghasilkan
sebuah produk yang tinggal diaplikasikan. Produk dari operasionalisasi inilah
yang biasanya disebut dengan fikih/ hukum.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa hal yang cukup
urgen dipertanyakan sebagai wujud keingintahuan terhadap hal tersebut.
Diantaranya;
a.
Bagaimana proses
pembentukan hukum pada masa Nabi Muhammad SAW & sahabat?
b.
Bagaimana
perkembangan fikih dan ijtihad pada masa Nabi Muhammad SAW & sahabat?
III.
PEMBAHASAN
A. Proses
Pembentukan Hukum pada Masa Nabi Muhammad SAW & Sahabat
Istilah hukum di Indonesia sudah tidak asing lagi. Bahkan,
istilah tersebut diidentikkan dengan fikih. Sedangkan fikih sendiri, dalam
bahasa kita sering dibaurkan dengan istilah lain yang dianggap seolah-olah
benar-benar sebagai sesuatu hal yang sama. Istilah lain tersebut yaitu: Hukum
Islam dan Hukum Syari’at.
Tetapi,
untuk suatu studi ilmiah, ketepatan dan kepastian suatu konsep itu diperlukan.
Pembauran segala istilah sebagai pernyataan sesuatu konsep akan menjadi
persoalan yang berat. Oleh karena itu, pembahasan pada sub bab ini dimulai
dengan mengemukakan suatu pandangan yang menyelesaikan terlebih dahulu
keambiguan istilah-istilah diatas.
Di dalam lingkungan bahasa hukum kita, dikenal apa yang
dinamakan Hukum Islam. Dalam kurikulum Fakultas Hukum di Indonesia, yang
dimaksud dengan mata kuliah hukum Islam adalah mata kuliah yang memelihara
pengetahuan peraturan-peraturan subtansiil mengenai suatu persoalan hukum yaitu
seperti ibadah, dinayah, muamalat. Di sini, hukum Islam diberi arti sebagai
salah satu cabang Hukum Positif yang ada di Indonesia.[1]
Akan tetapi, menurut Moh.Koesnoe, pemberian nama Hukum
Islam yang demikian itu, dalam intinya menimbulkan kebingungan dan kegaduhan
dengan Islam itu sendiri. Alasannya, Hukum Positif adalah hukum buatan manusia,
sedang hukum Islam sejauh arti kata yang termuat di dalamnya adalah hukum dari
Islam. Sedang Islam bukan buatan manusia, tetapi wahyu yang diturunkan oleh
Allah SWT kepada Rasullullah yang hanya kini kita temukan dalam kitab suci Al-Qur’an.
Hukum yang ada di situlah yang setepatnya dapat dikatakan sebagai Hukum Islam,
atau juga disebut syari’at.[2]
Dengan begitu, Hukum Islam sama dengan Hukum Syari’at atau
Syari’at Islam, ringkasnya disebut syari’at. Pengertian tersebut murninya hanya
menunujuk kepada wahyu di dalam Al-Qur’an.
Sedangkan fikih atau yang kadang-kadang dalam bahasa Hukum kita disebut
Hukum Positif, ringkasnya disebut hukum adalah penjabaran dari syai’at itu
sendiri.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Al-Qur’an
itu ayat-ayatnya ada yang masih global dan abstrak sehingga perlu dibuat
operasional yang tegas, jelas serta konsekuen mengikuti isi kandungan perintah
tersebut. Operasionalisasi normatif itu adalah operasionalisasi yang
normalogis.
Pada
masa Rasullullah masih hidup, pembentukan operasionalisasi dari Al-Qur’an
diberikan dan dilaksanakan oleh Rasulullah sendiri. Hal itu dilaksanakan baik
dengan jalan menjelaskan dengan kata-kata dan kalimat-kalimat, dengan
memberikan contoh dalam berbuat secara fisik, dan dapat pula dalam bentuk
mendiamkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, sekalipun
perbuatan itu ada kaitannya dengan isi perintah Al-Qur’an. Ketiga cara membuat
syari’at yang abstrak dan umum itu menjadi operasional normatif, oleh rasul
dilakukan dengan menyatakan dalam bentuk qaul, fiil, atau sukut.[3]
Operasionalisasi normalogis disini perlu dibedakan dengan
operasionalisasi biasa. Operasionalisasi biasa, adalah seperti merinci sesuai
dengan waktu tempat dan keadaan. Akan tetapi, dalam hal operasionalisasi
normalogis adalah membuat keadaan dapat dimasukkan kedalam sistem kemauan atau
perintah yang dimaksud. Olah karena itu, jika dikatakan bahwa Rasullullah
menggarap perintah-perintah syari’at secara operasionalisasi normalogis, dengan
jalan memberikan dalam bentuk qaul, fiil, atau sukut, maka berarti bahwa itu
semua oleh Rasullullah digarap sesuai dengan kemauan dan perintah wahyu yang
diterimanya dalam wujud ayat Al-Qur’an.[4]
Semasa Rasullullah masih hidup, ayat-ayat Al-Qur’an yang
isinya memerintah itu sebagai syari’at Islam, penggarapannya Rasullullah bukan
atas perhitungan terhadap tuntutan keadaan, serta kemampuan Rasullullah secara
teknis melaksanakannya. Rasullullah dalam hal itu masih didalam bimbingan Allah
SWT melalui wahyu yang merupakan penjelasan. Sekali lagi, wahyu yang
menjelaskan, yang mengoperasionalkan. [5]
Salah satu contoh adalah tentang perintah mendirikan
shalat. Untuk itu, Rasullullah harus terlebih dahulu menghadap Allah dengan
jalan Mi’raj dan baru setelah itu dapat menunjukkan bagaimana shalat lima waktu
itu harus dilaksanakan secara nyata.
Pada masa Rasullullah hidup, persoalan penerapan secara
konkret perintah syari’at di dalam al-Qur’an itu sudah menjadi persoalan. Dalam
hal ini Rasullullah mengajarkan, juga atas dasar petunjuk allah SWT, bahwa
dalam hal tidak diketahui bagaimana menjalankannya, maka orang yang dipandang
mampu, wajib menjalankannya dengan menggunakan akalnya secara sebaik-baiknya
dan sesungguh-sungguhnya, artinya dengan tekun dan serius menjalankan apa yang
disebut ijtihad. Dari ajaran Rasullullah tersebut yaitu: terkenal dalam
peristiwa Muadz[6] yang diangkat menjadi pembesar jauh diluar Mekah.
Ijtihad sebagai lembaga sudah dimasukkan ke dalam suatu
teknik bagaimana membuat operasional syari’at yang tertera didalam Al-Qur’an.
Sejak itu, sudah terlihat bahwa penggarapan syari’at, atau Hukum Islam yang
berwujud wahyu, dan yang sifatnya tertera di dalam Al-Qur’an, paling pertama
taraf operaionalisasinya dilakukan dengan mempergunakan wahyu yang sifatnya menjelaskan.
Wahyu ini hanya daripada Rasullullah dan dewasa ini dikenal dengan nama sunnah/
hadis Rasul.[7]
Pada masa Rasullullah, beliau sudah mengetahui bahwa sunah/
hadis yang dikeluarkannya sebagai penjelasan Al-Qur’an dapat terbatas sifatnya,
karena ikatan waktu, tempat, dan keadaan. Mengenai hal ini contoh-contoh dalam
hadis/ sunahnya itu hanya konkret secara sungguh-sungguh di dalam Rasullullah
berada yaitu Makkah dan Madinah, pada masa itu (waktu itu), dan dalam suasana
seperti itu pla. Tetapi, ditempat lain dalam suasana lain, dan waktu yang lain,
pasti dituntut untuk konkritisasi yang lain.
Untuk itu maka diperkenalkan petunjuk untuk mempergunakan akal, yang
kemudian dikenal dengan nama ijtihad.
Secara
ringkas, pada masa Rasullullah masih hidup, Hukum Islam yang ada dalam
Al-Qur’an konkritisasinya melalui dua tahap yaitu:[8]
1.
tahap pertama:
penjelasan langsung melalui wahyu kepada Rasullullah, dan kemudian beliau
meneruskannya kepada umat dengan tiga bentuk, yaitu: qaul, fiil, atau sukut.
2.
tahap kedua: dengan
berpegangan pada penjelasan Rasul di atas, mengolah lebih lanjut dengan akal,
dalam menghadapi tuntutan tempat, waktu, dan keadaan yang berlainan.
Dengan demikian, di daerah yang jauh dari tempat kedudukan
Rasullullah pada masa hidup Rasullullah, penerapan hukum Islam macamnya, yaitu:
Pertama, langsung dilakukan Rasullullah dengan berpegangan wahyu yang diterima.
Kedua, dilakukan oleh orang Islam yang cakap dan dapat dipercaya dengan
berpegangan kepada ajaran Rasullullah.
Setelah Rasullullah wafat, penggarapan hukum Islam
mengalami keadaan yang lain. Macam penggarapan yang pertama sudah tidak mungkin
lagi. Orang hanya mengingat-ingat bagaimana jalan yang ditunjukkan oleh
Rasullullah selama masih hidup.
Hal tersebut mendorong untuk lambat laun mengetahui dengan
kesungguhan dan kecermatan berhubung dengan rasa tanggung jawab yang besar dari
pemimpin Islam untuk menegakkan Hukum Islam dalam kehidupan praktis. Hasil
penggarapan praktis sejak saat itu menjadi bahan penting pula untuk penggarapan
selanjutnya secara detail Hukum Islam. Dalam suasana ini penggarapan melalui
akal menjadi lebih penting.
Penggarapan
lebih lanjut dengan menggunakan akal tersebutlah yang disebut dengan ijtihad.
Setelah Rasullullah wafat, ijtihad tetap berkedudukan sebagaimana petunjuk
Rasullullah, yaitu merupakan kegiatan untuk operasionalisasi normalogis Hukum
Islam. Penggarapan secara ini dituntut secara lebih berat, berhubung tempat,
waktu dan keadaan semakin lama semakin berlaianan secara mencolok, jika
dibandingkan dengan semasa hidup Rasullullah. [9]
Sejarah perkembangan alam pikiran Islam menacatat bahwa
sepeninggal Rasullullah SAW, para sahabat nabi juga melakukan ijtihad dalam
hal-hal yang disebutkan di dalam Al-Qur;an dan Sunnah. Mereka berijtihad dalam
memahami nash-nash, mendalami makna, yang tersirat dibalik kata-kata yang
terdapat dalam nash. Bahkan, kata-katanya pun kemudian juga menjadi bahan
pemikiran yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat.
Sekedar untuk contoh, pada masa pemerintahan khalifah Abu
Bakar r.a. terjadi perbedaan pendapat tentang pemahaman terhadap Sunnah yang
menjamin keselamatan jiwa dan harta orang yang telah menyatakan dua kalimah
syahadat. Sehingga, ketika tejadi gerakan riddah (pembangkangan) yang dilakukan
oleh beberapa kabilah antara lain kabilah ‘Abs dan Dzubyan yang berdiam dekat
dengan kota Madinah, khalifah mengundang para sahabat besar untuk
bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, banyak yang menyatakan agar mereka
jangan diperangi karena masih menyatakan dua kalimah syahadat. Tetapi akhirnya,
khalifah mengambil ketetapan untuk jiban yang dituntut oleh syahadat yang
mereka ucapkan. [10]
Pada nash-nash makin banyak yang dilakukan. Hal tersebut
dikarenakan makin banyaknya masalah baru yang dihadapi masyarakat. Misalnya,
ketentuan Al-Qur’an (9, 60) tentang orang muallaf termasuk yang berhak menerima
zakat, yaitu yang tertuju kepada orang-orang kafir yang dilunakkan hatinya agar
jangan terus memusuhi Islam, oleh Khalifah Umar tidak dilaksanakan, dengan
alasan ‘illat hukumnya telah tiada lagi. Menurut ijtihad Khalifah meneriama
zakat dengan ‘illat bahwa pada masa permulaan Islam masih lemah. Setelah
massanya Islam menjadi kuat, tidak perlu lagi melunakkan hati orang-orang kafir
yang memusuhi Islam. Jika mereka masih memusuhi, akan ditumpas.[11]
Selanjutnya, ketentuan Al-Qur’an (5:5) tentang kebolehan
laki-laki muslim kawin dengan perempuan ahli kitab tidak dilaksanakan terhadap
Gubernur Hudzaifah bin Yaman di Madain, dengan pertimbangan jangan samapai
menimbulkan fitnah terhadap jabatannya sebagai Gubernur dan terhadap Umat
Islam. Masih banyak yang dapat disebutkan jika akan dikemukakan contoh-contoh
ijtihad terhadap nash pada masa khalifah Umar ibn Khattab.[12]
B. Perkembangan Fikih dan
Ijtihad pada Masa Nabi Muhammad SAW & Sahabat
1.
Fikih dan
Ijtihad Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Dalam sejarah Islam telah diketahui bahwa dalam masa
kenabian terdapat dua periode yaitu periode Makkah dan Madinah yang keduanya
ada penurunan syari’at. Oleh karena itu, masa ini disebut asrut tasyri’ (masa
turunnya syari’at).
Adapun perbedaannya, jika dalam periode Makkah mayoritas
syari’at yang turun adalah masalah tauhid sedangkan periode Madinah masalahnya
sudah kompleks mencakup segala ruang lingkup manusia, termasuk muamalat dan
saintek.
Meskipun masa kenabian merupakan asrut tasyri’, tetapi
pemahaman fikih telah berwujud secara faktual. Sebagaimana yang telah penulis
sebutkan diatas bahwa pada dasarnya fikih itu merupakan penjabaran dari
syari’at.
Pada masa ini, Nabi dan para sahabat berusaha menjabarkan
syari’at yang terkesan masih global. Hanya saja keadaannya masih sederhana,
yaitu berupa pengenalan terhadap hukum-hukum Islam dalam ruang dan waktu
tertentu. Memang beberapa sahabat pernah mencoba mengangkat permasalahan fikih
praktis ketika tidak bersama nabi, namun selain jarang terjadi, intensitasnya
juga sangat kecil. Seperti kita tahu, para sahabat jarang sekali menanyakan
ketentuan hukum sehingga banyak perbuatan yang saat itu hanya diterima tanpa
mendpat penjelasan. Karena itu, pada masa ini keadaan fikih lebih merupakan
kerangka dasar untuk suatu perumusan lebih lanjut.[13]
Menyoal
tentang fikih, bila kita memahami pengertian fikih itu sebagai hasil penalaran
seorang ahli atas maksud hukum Allah, maka timbul pertanyaan apakah Nabi
Muhammad SAW melakukan ijtihad? Persoalan ini masih terjadi ikhtilaf di
kalangan ulama.
Sebagian ulama berargumen bahwa nabi telah berijtihad dan
sebagiannya lagi tidak. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat
3-4 surat al-Najm (53). Ada ulama yang memahami ayat di atas secara umum, bahwa
semua yang diucapkan Nabi dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum
atau bukan adalah atas dasar wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang
dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diterima Nabi dan disampaikannya
kepada umatnya; itulah yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua lisan nabi
disebut wahyu. Akibatnya berkembang pada boleh atau mungkin tidaknya nabi
berijtihad.[14]
Menanggapi hal di atas, Amir Syarifuddin cenderung berpihak
kepada tidak semua yang muncul dari lisan nabi itu dibimbing wahyu. Ia juga
berpendapat, dalam kenyataan memang Nabi pernah berijtihad untuk memahami dan
menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari Nabi yang
sebagiannya dibimbing wahyu. Dalam hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari
Allah maka hal itu muncul sebagai Sunnah Nabi yang wajib dita’ati. Dengan
demikian, sebagian sunah Nabi adalah berdasarkan ijtihadnya.[15]
Senada denagan hal tersebut, Mun’im A. Sirry dengan tegas
melebarkan ruang ijtihad Nabi. Ia tidak segan-segan menyebut nabi telah
berijtihad pada persoalan yang menyangkut kemaslahatan dunia dan strategi
perang, seperti pada penemapatan pasukan perang badar yang dilakukan oleh
Hubbab ibn Mundzir[16], akan tetapi sudah berani memasukkan ranah syar’iyah.
Padahal, Ibnu Hazm, Dhahiriyah, dan Abu Ali serta Abu Hasyim dari pihak
Mu’tazilah berpendapat bahwa nabi tidak berijtihad pada ranah tersebut.
Alasannya
adalah ijtihad Nabi terhadap kasus tawanan perang Badar dan keengganan para
prajurit Islam untuk jihad dalam perang tabuk.[17] Dalam kasus tersebut jelas
menyatakan bahwa nabi melakukan ijtihad terhadap suatu peristiwa yang tidak ada
ketentuan hukumnya, dan lamanya Nabi menunggu turunnya wahyu merupakan
justifikasi dari Al-Qur’an. Dengan kata lain, yang mungkin dikatakan dalam
persoalan tersebut adalah bahwa pendapat
yang direalisasikan oleh Nabi berbeda dengan yang ‘lebih utama’, bukan
menentang nash. Menentang nash itu berarti telah ada nash, sedangkan dalam
peristiwa itu tidak ada nash. [18]
Kedua pandangan di atas, jelas menyatakan kalau nabi telah
melakukan ijtihad semasa hidupnya. Apalagi, jika kita tinjau ulang dalam
pembahasan kita sebelumnya maka akan kita dapati bahwa Rasul telah menyuruh
sahabat menggunakan akalnya secara sungguh-sungguh jika ada persoalan yang
tidak ditemui dalam Al-Quran dan Sunnah.[19]
Hal di atas jelas meruntuhkan argumen yang menyatakan bahwa
Nabi tidak berijtihad. Bagaimana mungkin seseorang menyuruh orang lain
melakukan pekerjaan dengan menggunakan sebuah alat jika ia tidak paham betul
alat apa yang telah ia rekomendasikan itu? Kecil kemungkinan seseorang yang
paham betul akan sebuah alat yang memberikan kemanfaatan tidak digunakan,
dengan kata lain di sia-siakan. Hanya orang bodoh yang akan melakukan seperti itu.
Padahal kita ketahui bahwa mustahil Rasul bersifat bodoh.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa fikih sudah mulai ada semenjak Nabi masih
hidup dan nabi pun telah melakukan ijtihad untuk menghasilkan fikih tersebut.
Akan tetapi, keberhasilan Nabi dan para sahabat dalam menyikapi hukum Islam
pada masa ini lebih merupakan kerangka dasar untuk kajian-kajian fikih pada era
berikutnya.
- Fikih dan Ijtihad Pada Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kehidupan fikih tidak lah
ikut redup. Justru sebaliknya, fikih mengalami perkembangan. Semakin lebarnya
daerah Islam dengan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang
berbeda-beda, menghadang para fuqaha untuk memberikan hukum pada
persoalan-persoalan baru yang muncul dikemudian hari.
Secara
sistematis, Amir syarifuddin mengungkapkan bahwa ada 3 hal pokok yang
berkembang pada masa ini sehubungan dengan hukum dan memerlukan pemikiran
mendalam atau nalar dari para ahli, pendek katanya disebut dengan ijtihad. [20]
Adapun
3 hal pokok tersebut adalah:[21]
a.
Banyak bermunculan
kejadian baru yang membutuhakan jawaban hukum secara lahiriah tidak dapat
ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an. Maupun Sunnah Nabi.
b.
Timbulnya
masalah-masalah yang secara lahir telah diatur oleh ketentuan hukumnya dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah, namun ketentuan itu terlalu sulit untuk diterapkan dan
menghendaki pemahaman baru agar relevan
dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
c.
Di dalam Al-Qur’an
ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila
hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan
dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
Dalam
menghadapi masalah tersebut, berkembanglah pemikiran sahabat.[22]
Pemikiran tersebut pada akhirnya menghasilkan pihak-pihak
yang berbeda dan masing-masing diikuti para pengikutnya. Perbedaan ini pada
umumnya disebabkan oleh karena tidak adanya petunjuk yang pasti dari Al-Qur’an
dan tidak ada pula penjelasan dari Nabi.
Akan tetapi, patut dicatat dalam kesempatan ini, bahwa
perbedaan pendapat tersebut dianggap sebagi suatu hal yang wajar dan bahkan
justru perlu dikembangkan. Tidak ada sahabatnya yang memaksakan pendapatnya
kepada orang lain. Kebebasan berpendapat tanpa tendensi untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok ini telah melahirkan suatu kekuatan moral Islam yang
secara sungguh-sungguh berusaha melihat relevansi Islam dengan
persoalan-persoalan yang terus berkembang dan senantiasa meminta etika dan
paradigma baru.[23]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa ini fikih
masih tetap seperti periode pertama, meskipun perluasan wilayah Islam
menghadirkan tuntutan bagi perkembangan fikih. Selain itu, Selain al-Qur’an dan
Sunnah, ijtihad juga menjadi rujukan pada masa ini. Ruang lingkup ijtihad yang
dilakukan para fuqoha pun cukup luas, terdapat kebebasan berpikir.
IV. KESIMPULAN
Pada masa Rasullullah masih hidup, Hukum Islam yang ada
dalam Al-Qur’an konkritisasinya melalui dua tahap yaitu:[24]
1.
tahap pertama:
penjelasan langsung melalui wahyu kepada Rasullullah, dan kemudian beliau
meneruskannya kepada umat dengan tiga bentuk, yaitu: qaul, fiil, atau sukut.
2.
tahap kedua: dengan
berpegangan pada penjelasan Rasul di atas, mengolah lebih lanjut dengan akal,
dalam menghadapi tuntutan tempat, waktu, dan keadaan yang berlainan.
Sepeninggal
Rasullullah SAW, para sahabat juga melakukan ijtihad dalam hal-hal yang
disebutkan di dalam Al-Qur;an dan Sunnah. Mereka berijtihad dalam memahami
nash-nash, mendalami makna, yang tersirat dibalik kata-kata yang terdapat dalam
nash. Bahkan, kata-katanya pun kemudian juga menjadi bahan pemikiran yang
mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat.
Fikih
sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dan nabi pun telah melakukan ijtihad
untuk menghasilkan fikih tersebut. Akan tetapi, keberhasilan Nabi dan para sahabat
dalam menyikapi hukum Islam pada masa ini lebih merupakan kerangka dasar untuk
kajian-kajian fikih pada era berikutnya. Pada masa sahabat fikih masih tetap
seperti periode pertama, meskipun perluasan wilayah Islam menghadirkan tuntutan
bagi perkembangan fikih. Selain itu, Selain al-Qur’an dan Sunnah, ijtihad juga
menjadi rujukan pada masa ini. Ruang lingkup ijtihad yang dilakaukan para
fuqoha pun cukup luas, terdapat kebebasan berpikir.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Sebagai insan
yang dlaif tentunya masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan
dari pembaca sekalian untuk perbaikan dan evaluasi dari apa yang penulis dapat
sajikan.
DAFTAR PUSTAKA
Koesnoe, Moh.,
dkk.1986.Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqih di Indonesia.Surabaya:IAIN
Sunan Ampel.
Sirry, Mun’im
A.1996.Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar.Surabaya:Risalah Gusti.
Syarifuddin,
Amir.Ushul Fiqh Jilid 1.1997.Jakarta:Logos Wacana Ilmu.
Umar, Muin,
dkk.1985.Ushul Fiqh.Jakarta:IAIN Jakarta.

[1] Moh. Koesnoe,
“Hukum Fiqh dan Pengeterapannya di Indonesia”, dalam Pembangunan Hukum dan
Perkembangan Fiqih di Indonesia, (Surabaya:IAIN Sunan Ampel, 1986), hlm, 62
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 63
[4] Ibid., hlm.
63-64
[5] Muin Umar dkk.,
Ushul Fiqh, (Jakarta:IAIN Jakarta, 1985), hlm.9
[6] Lihat Mun’im A.
Sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996),
cet. II, hlm. 30-31
[7] Moh. Koesnoe,
op.cit., hlm. 64
[8] Ibid., hlm. 65
[9] Ibid.,
[10] Ahmad Azhar
Basyir, “Pola Dasar Pemikiran tentang Fiqih Islam yang Menjamin Kelenturan
Perkembangannya”, dalam Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqih di Indonesia,
(Surabaya:IAIN Sunan Ampel, 1986), hlm. 116
[11] Ibid., hlm.
116-117
[12] Ibid.,
hlm. 117
[13] Mun’im A.
sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996),
cet. II, hlm. 32
[14] Amir
syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. I,
hlm. 6-7
[15] Ibid., hlm. 9
[16] Lihat Mun’im
A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996),
cet. II, hlm. 28-29
[17] Lihat Mun’im
A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996),
cet. II, hlm 29-30
[18] Mun’im A.
Sirry, op.cit., hlm. 30
[19] Peristiwa
Muadz. Baca Moh. Koesnoe, “Hukum Fiqh dan Pengeterapannya di Indonesia”, dalam
Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqih di Indonesia, (Surabaya:IAIN Sunan
Ampel, 1986), hlm 64. Demikian juga lihat Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih
Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996), cet. II, hlm. 30-31
[20] Amir
Syarifuddin, op.cit., hlm. 22
[21] Ibid.
[22] Lihat Amir
syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. I,
hlm. 22-28
[23] Mun’im A.
Sirry, op.cit., hlm. 39
[24] Moh, koesnoe,
op.cit., hlm. 65
0 komentar:
Post a Comment