PEMIKIRAN PROF. DR. HARUN NASUTION
A. Pendahuluan
Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran
rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional
berkembang pada Zaman Klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang
pada Zaman Pertengahan Islam (1250-1800 M).
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi
tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam AI-Quran dan
hadits.
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini
melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik.
Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang
pemikiran rasional yang J sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang
pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains,
sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada
ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian,
dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan
ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan AI-Quran dan hadits.[1]
Sejak abad kesembilan belas inikembali tumbuh di
Dunia Islam pemikiran rasional yang agamis dengan perhatian pada filsafat,
sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan itu lebih maju lagi,
lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran
tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional agamis ini.
Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya
kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran
Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut
kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath
‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan
hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.[2]
B. Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di
Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang
pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan
Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Ayah Harun juga seorang
ulama yang menguasai kitab-kitab Jawi dan suka membaca kitab kuning berbahasa
Melayu. Sedangkan, ibunya seorang boru Mandailing Tapanuli, Maimunah
keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa
kegiatan di Masjidil Haram. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama,
keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Kondisi
keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan
cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan.
Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch
Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun,
Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada
dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai
pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan
ibadah lainnya.[3]
Selama 7 tahun ia belajar di HIS dan tamat pada
tahun 1934 ketika berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu
pengetahuan alam dan sejarah.[4]
Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama
yang bersemangat modern (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap
keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama
ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun
bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional.
Di negeri gurun pasir itu, Harun tidak lama dan
memohon pada orang tuanya agar mengizinkannya pindah studi ke Mesir. Di Mesir,
dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di
Kairo.
Pada usia 24 tahun beliau rnenikahi gadis Mesir,
Sayedah. Pada saat itu pula Harun telah menyelesaikan studinya di Uninversitas
Amerika di Cairo yang berhasil mendapatkan gelar B. A (serjana muda).[5]
C. Pemikiran-Pemikiran Harun Nasution
- Akal
Kata
akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql
(العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy
(الوحى), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa
bentuk kata kerjanya ‘aqluh (عقلوه) dalam 1 ayat, Ta’qilun
(تعقلون) 24 ayat, Na’qil (نعقل)
1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون)
22 ayat. Kata-kata itu dating dalam arti faham dan mengerti. Sebagai
contoh dapat disebut ayat-ayat berikut:
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan
percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu
mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”
(Q.S. Al-Baqarah; 75)
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka
bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Q.
S. Al-Hajj; 46)[6]
Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q. S. Al-Mulk; 10)
Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aql
di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical
intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan
memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal, menurut
pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah,
setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri
dari bahaya yang ia hadapi.
Bagaimanapun ‘aqala mengandung arti
mengerti, memahami dan berpikir. Dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan di
atas oleh ayat 46 dari surah Al-Hajj, pengertian, pemahaman dan pemikiran
dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Ayat-ayat berikut juga
menjelaskan demikian:
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Q. S.
Al-A’raaf; 179)[1]
Tidak mengherankan kalau pengertian yang jelas
tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh
falsafat Yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa
(al-nafs النفس
atau al-ruh الروح)
yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al-ruh
berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah masuk ke dalam bahasa kita dalam bentuk
nafsu, nafas dan roh.[2]
- Wahyu
Wahyu
bersal dari kata al-wahy (الوحى), dan al-wahy adalah
kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu
berarti suara, api dan kecepatan. Al-wahy selanjutnya mengandung arti
pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal
dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”.
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi
antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat
dalam surah Al-Syura menjelaskan:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun
bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau
dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syuura 51)[3]
Wahyu dalam bentuk pertama kali
kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan
seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya
yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan
dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf
(vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui
utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam
bentuk kata-kata.[4]
Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW. Adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam surah Al-Syu’ara dijelaskan:
“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, – Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin
(Jibril), – ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di
antara orang-orang yang memberi peringatan, – dengan bahasa Arab yang jelas.”
(Q. S. Asy-syuara; 192-195)[5]
Filosof yang mempunyai akal perolehan lebih
rendah dari Nabi yang memperoleh akal material atau hads. Dengan lain
kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi. Nabi tetaplah orang pilihan Tuhan. Selanjutnya
filosof hanya dapat menerima ilham, wahyu hanya diberikan kepada Nabi-nabi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan
dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau
filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan
perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa
atau kalbunya dengun menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan
usaha pada pensucian jiwa.[6]
AI-Farabi, filosof Islam yang hidup di abad
kesembilan dan kesepuluh Masehi, telah juga membawa konsep imateri berubah
menjadi materi ini dalam falsafat penciptaan alam semesta yang dikenaI dengan
falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah dijelaskan sebelumnya. Tuhan
memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti dilihat di
atas adalah daya pikir.
Ditinjau dari perkembangan masalah materi dan
imateri ini, pertanyaan tentang bagaimana wahyu yang bersifat imateri berubah
menjadi materi, tidaklah lagi relevan.[7]
Dikalangan kaum Orientalis yang menulis tentang
Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. ini juga banyak
dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua
bentuk wahyu. Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory)
dan kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual).
Tor Andrae membawa ayat Al-Qur’an untuk
memperkuat uraian di atas.
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
(membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya – Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. – Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu. – Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”(Q.
S. Al-Qiyaamah; 16-19)[8]
- Pentingnya Akal
Akal,
menurut Muhammad Abduh, adalah suatu .daya yang hanya dimiliki manusia, dan
oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari makhluk lain. Akal
adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan
daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi
dasar dan surnber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Umat manusia diketika Islam datang, demikian
Muhammad Abduh, telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional.
Apa yang mereka cari itu, mereka jumpai dalam Islam. Tidak mengherankan kalau
ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur’an berbicara kepada akal manusia dan bukan
hanya kepada perasaannya. Aka1, demikian ia menegaskan, dimuliakan Allah dengan
menujukan perintah dan larangan-Nya kepadanya.
Oleh karena itu, dalarn Islamlah “agama dan akal
buat pertama kalinya menjalin hubungan persaudaraan.” Di dalam persaudaraan
itu, akal menjadi tulang punggung agama yang terkuat dan wahyu sendinya yang
terutama. Antara akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan.
Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah
hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran
AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk
berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid.[9]
- Asal-Usul Tasawuf
Misitisisme dalam Islam diberi nama tasawwuf dan
oleh kaum Orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam
ilstilah Orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme
tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain.
Tasawuf atau Sufisme sebagaimana halnya
Jengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang
berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk dalamnya sufisme,
ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan
Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkotemplasi. Kesadaran berada dekat
dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (الاتحاد), bersatu dengan Tuhan.
Tasawwuf. merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai
ilmu pengetahuan, tasawwuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana
seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.[10]
B. Karya-Karya Harun Nasution
Dalam rangka mengembangkan pemikirannya, Harun
Nasution telah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai berikut:
- Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974).
Buku ini terdiri dari dua jilid, diterbitkan pertama kali oleh UI-Press,
yang intinya adalah memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya. Buku ini
menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih,
tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam menurut buku Harun ini
lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, filsafat,
mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan politik.
- Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama,
mengandung uraian tentang aliran dan golongan-golongan teologi, bukan
hanya yang masih ada tetapi juga yang pernah terdapat dalam Islam seperti
Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahli sunnah wal
jama’ah. Uraian diberikan sedemikian rupa, sehingga di dalamnya tercakup sejarah
perkembangan dan ajaran-ajaran terpenting dari masing-masing aliran atau
golongan itu, dan mengandung analisa dan perbandingan dari aliran-aliran
tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran mana yang bersifat liberal, mana
yang bersifat tradisional. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1972 oleh
UI-Press.
- Filsafat Agama (1978). Buku ini
menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu, ketuhanan, argumen-argumen
adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan Tuhan. Buku ini semula
diterbitkan Bulan Bintang.
- Falsafat dan Mistisisme dalam Islam
(1978). Buku ini juga merupakan kumpulan ceramah Harun di IKIP Jakarta.
Buku ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian falsafat Islam dan bagian
mistisisme Islam (tasawuf). Bagian falsafat Islam menguraikan bagaimana
kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafat Yunani
yang kemudian melahirkan filosuf muslim seperti al-Kindi, al-Razi,
al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd. Sedangkan, bagian
mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam
sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Buku ini terbit perdana tahun
1973 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
- Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini merupakan kumpulan ceramah dan kuliah Harun
Nasution di berbagai tempat di Jakarta tentang Aliran-Aliran Modern dalam
Islam. Membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang
timbul di zaman yang lazim disebut periode modern dalam sejarah Islam.
Pembahasannya mencakup atas pembaruan yang terjadi di tiga negara Islam,
yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir,
Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha, murid dan pengikut Muhammad Abduh), Turki, (topik intinya;
Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, tiga aliran
pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa Kemal), dan India-Pakistan
(topik intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh,
Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme
India.
- Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku
ini menjelaskan pengertian aka I dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal
dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dan
peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam. Uraian tegas buku ini
menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan
banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran keagamaan sendiri. Akal tidak
pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk kepada teks wahyu.
- Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987). Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari
tesis Ph.D. Harun Nasution yang berjudul “The Place of Reason in Abduh’s
Theology, Its Impact on his Theological System and Views”, diselesaikan
bulan Maret 1968 di McGill, Montreal, Kanada. Buku ini berisi tentang
riwayat hidup Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu,
paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan,
dan konsep Iman. Inti buku ini menjelaskan bahwa pemikiran teologi
Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu’tazilah, bahkan
dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh jauh melebihi pemikiran
Mu’tazilah.
- Islam Rasional (1995). Buku ini merekam
hampir seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai
1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama mengenai tuntutan modernisasi
bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan pandangan
rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah.
Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan
langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara kultural
siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada
tradisi sendiri.[11]
C. Analisa
Harun adalah seorang figur yang dapat dicatat
dalam sejarah Islam Indonesia, sebab dengan pemikiran-pemikiran rasionalnya
Harun mencoba untuk menghilangkan salah satu sebab kemunduran umat Islam
Indonesia, yaitu dominasi Asy’arisme yang sangat bersifat Jabariyah (terlalu
mengarah kepada takdir) atau faham fatalisme. Sebagai usaha ke arah itu, Harun
dalam berbagai tulisannya selalu menghubungkan akal dengan wahyu dan lebih
tajam lagi melihat fungsi akal itu ke dalam pandangan Al-Qur’an yang demikian
penting dan bebas.
Harun terus berusaha mengadakan pembaharuan dan
merubah kurikulum yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah, dulu mereka takut
menggunakan akal, tetapi dengan adanya perubahan yang Harun lakukan mereka
sudah bisa berpikir rasional, itulah kesimpulan para ahli filsafah Islam
tentang IAIN Syarif Hidayatullah.
Untuk pandangan teologi rasional, Harun sering
kali menunjukkan pada tradisi pemikiran teologi Mu’tazilah dan juga para
pemikir pembaharu berikut seperti Muhammad Abduh dan lainnya. Tapi, mengenai
pandangan teologi tradisional Harun menunjukkan pada pandangan Asy’ariyah.
Atas dasar inilah Harun membawa
pemikiran-pemikiran yang diintrodusir IAIN Syarif Hidayatullah, sehingga waktu
mengenalkannya Harun menggunakan pendekatan filosofis dalam buah pikirannya,
seperti “Islam ditinjau dari berbagai aspek-aspeknya”, dan hasilnya Harun dapat
tanggapan yang baik dikalangan terpelajar muslim Indonesia, sehingga terjadi
dialog, perdebatan bahkan kritikan.
Akhir dari semua itu, Harun berhasil membawa IAIN
Syarif Hidayatullah sebagai salah satu IAIN yang terpandang di Indonesia.
D. Kesimpulan
Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di
Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang
pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan
Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar.
Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch
Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun,
Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada
dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai
pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan
ibadah lainnya.
Wahyu dalam bentuk pertama kali
kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan
seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya
yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan
dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf
(vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan
atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk
kata-kata.
Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah
hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran
AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk
berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan
dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau
filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan
perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa
atau kalbunya dengun menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan
usaha pada pensucian jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
- Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003).
- Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap
Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001).
- Muzani, Syaiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.
Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung. 1995).
- Nasution, Harun. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia
(UI Press). Jakarta. 1986).
- Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam.
(PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973).
- Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah.
(Universitas Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987).
[1].
Ibid. hlm. 6-7
[2].
Ibid. hlm. 8
[3].
Ibid. hlm. 15-16
[4].
Syaiful Muzani. Op Cit. hlm. 17
[5].
Prof. Dr. Harun Nasution. Op Cit. hlm. 15-16
[6].
Ibid. hlm. 18
[7].
Ibid. hlm. 20
[8].
Ibid. hlm. 22
[9].
Prof. Dr. Harun Nasution. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah.
(Universitas Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987). hlm. 44-46
[10].
Prof. Dr. Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT.
Bulan Bintang. Jakarta. 1973). hlm. 56
[11].
Abdul Halim. Op Cit. hlm. 18-22
[1].
Syaiful Muzani. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution. (Mizan. Bandung. 1995). hlm. 7
[2].
Ibid. hlm. 9
[3].
Abdul Halim. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis
Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001). hlm. 3
[4].
Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). hlm. 19
[5].
Abdul Halim. Op Cit. hlm. 4
[6].
Prof. Dr. Harun Nasution. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI
Press). Jakarta .
1986). hlm. 5
0 komentar:
Post a Comment