I.
PENDAHULUAN
Dimasa sekarang ini,
Islam sedang di uji dengan dikatakan bahwa Islam adalah sarang teroris.
Dengan peristiwa-peristiwa pengeboman sampai bom bunuh diri. Apakah
ajaran Islam membuat seseorang menjadi tidak menghargai kebersamaan dan
perdamaian. Kita sering mendengar kata ijtihad, yang sering
disalah-artikan. Apakah itu yang dinamakan ijtihad yang sebenarnya,
tanpa tahu asal mulanya dan berbuntut kebaikan atau kejelekan.
Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul telah mengatur sedemikian rupa seluruh keperluan dan
kebutuhan pergaulan ummat. Dengan demikian harus bertafaqquh untuk
meluaskan paham memperdalam pengertian tentang agama.
II. PEMBAHASAN
A. Ijtihad
بِذلُ
الْجُهْدِ لِتَحْصِيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ
Ijtihad adalah memberi
segala daya kemampuan dalam usaha mengetahui sesuatu hukum syara’.
Dari segi teknik, ijtihad
dibedakan menjadi tiga:
1. Ijtihad bayani yaitu ijtihad yang berhubungan
dengan penjelasan kebahasaan yang terdapat di al-Qur’an dan Sunnah
2. Ijtihad qiyasi yaitu ijtihad untuk menyelesaikan
suatu sengketa atau persoalan yang di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang
tidak ada ketentuan hukumnya, dan ulama menyelesaikan dengan cara qiyas
atau istihsan.
3. Ijtihad istishlahi yaitu ijtihad dengan
menggunakan ra’y (akal) yang tidak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an atau
hadits tentang secara khusus.[1]
Ijtihad
pada dasarnya adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam memahami
maksud-maksud Allah. Oleh karena itu ijtihad pasti menggunakan akal
(ra’y).
Dengan pendekatan lafazh dan makna, Abd al-Majid
Shubh membedakan ijtihad menjadi dua : ijtihad yang mengutamakan kata
(susunan dan relasinya) yang utamanya disebut ash hab al lafazh;
dan ijtihad yang mengutamakan “ideal moral” atau (مَاوَرَاءَ
النَّصِّ) yang kemudian utamanya disebut ash hab al-ma’na.
Ijtihad
adalah suatu usaha darurat di dalam sejarah perkembangan syariat,
karena ijtihad jalan untuk mengistimbathkan hukum dari dalil, baik yang
naqli maupun yang aqli.[2]
Orang
yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan
hukum atas dasar fardlu kifayah. Ada
ulama yang berkata : kita perlu membayangkan hal-hal yang mungkin
terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar ketika terjadi hal-hal itu hukum
telah ada. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha akhir ra’yi dan
golongan Hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang telah
terjadi ijma’.[3]
Batas
berlakunya hukum yang diperoleh dari ijtihad:
1. Hukum yang diperoleh dari ijtihad hanya harus
dipakai oleh mujtahid sendiri dan oleh orang yang meminta fatwa
kepadanya, tak dapat dimestikan seseorang mengikuti dan melaksanakannya.
2. Hukum yang diijtihadkan itu, tak dapat diyakini
bahwa dia hukum syara’.
3. Hukum yang diperoleh dari ijtihad, merupakan hujah
bagi seseorang yang meminta fatwa, tak perlu orang yang meminta fatwa
itu mengetahui dalil, karena mujtahid itu merupakan dalil bagi hukum
itu.
Dalam bidang yang telah ada nash yang qath’i
tersebut dan dalalahnya naik dari Kitabullah maupun sunnah mutawatir,
tidak dapat dilakukan ijtihad lagi, demikian pula dalam bidang yang
sudah ada batasan-batasannya dalam syara’, seperti bilangan rakaat,
waktu sembahyang dan amalan-amalan haji.
ð Ijtihad fardi adalah :
Setiap ijtihad yang
dilakukan oleh orang seseorang atau beberapa orang, tak ada keterangan
bahwa seluruh mujtahid yang belum menyetujuinya.
ð Ijtihad jama’i
Ijtihad terhadap sesuatu
masalah yang disepakati oleh semua mujtahid.[4]
B. Taqlid
اَلْعَمَلُ
بِقَوْلِ مِنْ لَيْسَ قَوْلُهُ إِحْدَى الْحُجَّجِ الشَّرْعِيَّةِ بِلاَ
حُجَّةِ مِنْهَأ.
“Mengamalkan
pendapat orang yang pendapatnya itu bukan suatu hujah syar’iyyah tanpa
adahujja”.
Atau:
قَبُوْلُ قَوْلٍ بِلاَ
حُجَّةٍ.
“Menerima suatu pendapat
tanpa hujah”
Demikian pendapat al-Ghazali dan Ibn Jubki.[5]
a. Taqlid yang haram, yang disepakati oleh seluruh
ulama ada 3 yaitu:
1)
Tidak
memperdulikan ayat Tuhan, lantaran orang tua (masyarakat)
2) Taqlid terhadap orang yang tidak kita ketahui,
apakah orang itu mempunyai keahlian
3) Sesudah memperoleh hujah dan dalil yang
bertentangan pendapat-pendapat orang tersebut. Segala bentuk taqlid ini,
dicela Allah dalam al-Qur’an.
b. Taqlid yang wajib adalah: taqlid terhadap yang
pendapat merupakan hujah seperti ucapan Rasulullah Saw dalam uruf ulama
salaf, dinamai ittiba’.
c. Taqlid yang dibolehkan ialah menuruti pendapat
para mujtahid dalam soal-soal yang tidak kita ketahui hukum Allah dan
Rasul.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 1997.
______________, Pengantar Ilmu
Fiqih, Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 1999.
Mubarok, Jaih, Metodologi
Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta : UII
Press, 2002.
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 202.
[3] Ibid., h. 203
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h.
163-164
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Pengantar Ilmu Fiqih, op.cit., h. 207-208.
0 komentar:
Post a Comment