Ilmu adalah penerang (cahaya) agar bisa
mengantarkan manusia ke tujuan esensialnya. Dan ilmu diperoleh melalui alat
atau sarana yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Kuncinya ada pada kata
perintah iqro, yaitu perintah untuk membaca. Dan salah satu yang harus
dibaca adalah subjek (atau pelaku) yang mengerjakan amal atau tindakan
tertentu.
Dalam upaya memperoleh ilmu, manusia menduduki
posisi utama tidak hanya sebagai subjek tetapi juga objek ilmu. Manusia sebagai
objek ilmu artinya ialah meneliti kerangka kerja ilmiah yang dihasilkan
manusia; dalam posisi ini manusia me-mashdar-kan kerja (amal) yang
dilakukannya sehingga bisa ditelusuri potensi-potensi dalam diri manusia yang
bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan ilmu. Upaya ini sekaligus bisa mempertahankan
objektivitas ilmu itu sendiri. Dalam berbagai disiplin ilmu, sekalipun dalam
sains modern disadari bahwa, mengetahui potensi-potensi dalam diri manusia
sebagai sarana memperoleh ilmu adalah penting dalam upaya mempertahankan
objektivitas ilmu itu sendiri.
Potensi-potensi dan alat
dalam diri manusia yang capable dijadikan sarana mendapatkan ilmu
menurut Imam Ghazali dalam berbagai kitabnya ada tiga : 1) Panca Indera, 2)
Akal, dan 3) Intuisi.
1. Panca Indera
Panca indera (hawaasul khamsi) yang
terdiri dari indera penglihat (mata), indera pendengar (telinga), indera perasa
(lidah), indera pencium (hidung), dan indera peraba (kulit), merupakan sarana
penangkap ilmu paling awal yang muncul dalam diri manusia. Semua maojud yang
ditemukan oleh hissi ini yang disebut mahsuusaat serta temuan-temuan
empiris yang disebut mujarrobaat termasuk dua dari lima pengetahuan a priori (daruri).
Namun temuan hissi memiliki batasan ketika hendak
mengungkap maojud yang tidak occupying space, seperti monad-monad
(units) yang tidak menempati ruang dan tidak tersentuh (misalnya titik
geometris dan elemen untuk ruang; temporal instant dan transisi kinetis untuk
waktu dan gerak). Ketika misalnya hendak mengungkap interdependensi
ruang-waktu, atau ketika menelaah ketersambungan cause dan effect dalam
ruang-waktu tersebut, maka monad-monad tersebut mutlak harus ada. Karena itu,
hukum-hukum yang kemudian ditetapkan berdasarkan temuan hissi ini yang disebut
hukum kausalitas (hukum ‘adat) harus diuji tidak hanya secara empiris (untuk kepentingan
praktis saja) tetapi juga secara metafisis dengan melibatkan dalil-dalil akal
melalui ilmu logika (mantiq).
Maojud yang bukan objek hissi ialah maojud yang
tidak kena oleh sentuhan dan jarak spasial tetapi ketersambungannya dapat
diketahui oleh ilmu logika (mantiq). Maka dalam masalah-masalah metafisika,
misalnya konsep discrete dan continue, finite dan infinite, monad, form;
mengenai hakikat (esensi) semua maojud, bila kesimpulan hissi menyalahi
kesimpulan akal, maka akal yang harus didahulukan.
Bahkan dalam masalah-masalah metafisis seperti
ini akal perlu sebisa mungkin membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh hissi.
Jika tidak demikian maka akan terjadi pengaburan akurasi, dan yang ditemukan
bukan lagi objek hissi yang a priori (daruri) melainkan
seperti fatamorgana di tanah yang datar (ka saroobin bi qii’ah) yang
disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi setelah didatangi air tersebut
ternyata tidak ada. Kekaburan akurasi inilah yang disebut dengan “waswas”
(keraguan-absolut destruktif) yang merusak jiwa manusia, dan termasuk sifat
yang dikehendaki oleh setan ada di dalam diri manusia. Sedangkan akal adalah
petunjuk yang meluruskan dan menajamkan akurasi dari kekaburan hissi ini.
2. Akal
Para ahli bahasa pada umumnya sepakat bahwa akal
(‘aql) berasal dari kata ‘iqaal yang berarti tali pengikat
yang kuat, dan ma’qool yang berarti sesuatu yang berbenteng kuat di
puncak gunung yang tak terjangkau oleh tangan manusia karena kokoh dan kuatnya.
Penamaan daya kemampuan ini dengan akal (‘aql) menunjukan urgensi
potensialitas dan kapabilitasnya sendiri. Dalam Misykaat al-Anwaar,
Imam Ghazali meyakinkan bahwa potensi akal cukup capable untuk menangkap bukan
saja objek yang terbatas (finite), tetapi juga yang tak terbatas (infinite).
Maojudnya meliputi yang discrete maupun yang continue, finitely divisible
maupun yang infinitely divisible. Bahkan dalam Ihya al-‘Ulumuddin
Al-Ghazali menyediakan satu bab khusus untuk membicarakan keluhuran dan
kemuliaan akal, jenis-jenisnya serta sifat, fungsi dan kapabilitasnya.
Dalam arti metafisis akal identik dengan atau
bertempat di hati (qalbu) yaitu sebagai sinar lathiif atau sirr
ruhani, sebagai inti hakikat manusia. Dalam arti ini akal gharizi
siap menerima ilmu-ilmu a priori (daruri) yang kebenarannya aksiomatis dan
jelas (badihi) dan siap menerima ilmu-ilmu inferensial/a posteriori (nadzori),
yang keduanya merupakan nafsul ‘uluum (jiwa atau semangat ilmu), dan menduduki
posisi yang sangat penting dalam perkembangan kedewasaan manusia, dan merupakan
batas utama manusia masuk ke gerbang mukallaf (yang tertaklif hukum).
Ketajaman dan akurasi akal adakalanya terkaburkan
oleh pengaruh daya imajinasi (khayal) dan daya estimasi (wahm) yang dinisbatkan
dengan pengalaman hissi. Maka akal ini laksana cermin yang apabila ia bersih
dan murni maka ia bisa merefleksikan objek sebagaimana realitasnya. Kalaupun
pemikiran seseorang salah, kesalahan bukan terletak pada akalnya, tetapi karena
ia dikuasai oleh khayal dan wahm, kecuali apabila akalnya cacat (tidak
berakal).
Maka untuk menjamin cara berpikir dan proses
penalaran yang sah sehingga bisa sampai kepada bentuk akal ini diperlukan
sarana yang dapat meluruskan dan menjaga kemurniannya, yaitu melalui logika
(mantiq). Di sinilah peran penting ilmu logika sebagai mukadimah ilmu-ilmu
seluruhnya, dan sebagai neraca dan timbangan yang lurus (al-Qisthos
al-Mustaqiim). Dan orang yang tidak menguasai ilmu logika, menurut
Al-Ghazali, ia pada dasarnya belum mempercayai kebenaran ilmu yang dimilkinya. Anna
man laa ma’rifata lahuu bi al-mantiqi, laa yuu tsaqu bi ‘ilmihii. (Al-Mustashfa,
jld I, hlm. 10)
3. Intuisi
Beberapa kitab yang ditulis Al-Ghazali
menyinggung seperlunya mengenai potensi intuisi ini, dan ia tidak membahasnya
dalam potensi tersendiri, kecuali misalnya dalam kitab Misykaat al-Anwaar
yang menyebut potensi lain di atas akal, yaitu ruh quds nabawi yang
dimiliki oleh para nabi dan wali, yang memiliki daya kemampuan menangkap maojud
di luar tangkapan akal, atau yang disebut maojud transendental. Ahli tafsir dan
ulama kontemporer, M. Quraish Shihab, menisbatkan objek (di dalam bukunya), Yang
Tersembunyi, dengan mulai menelaah ulasan Al-Ghazali dalam Misykat di
atas, seperti keberadaan makhluk-makhluk ghaib seperti iblis, jin dan malaikat.
Di lain kitab Al-Ghazali, dalam al-Munqidz min
adl-Dlolaal, diintroduksikan istilah zauq yang searti dengan wijdaan
yang sering diartikan dengan intuisi. Saeful Anwar (2007) dalam bukunya
Filsafat Ilmu Al-Ghazali, yang menjadi rujukan penulis dalam membaca
karya-karya Al-Ghazali, lebih jauh lagi dan secara panjang lebar mengelaborasi
potensi intuisi ini dan memasukkannya ke dalam metodologi pencapaian ilmu
yaqini multilevel (multifase), yakni metodologi penyingkapan intuitif
(kasyfi) pada tahap kedelapan dan kesembilan dalam “Sistem Sembilan Tahap” yang
diturunkan dari epistemologi filsafat ilmu Al-Ghazali. Ia menjelaskan
urgensinya dalam epistemologi ilmu setelah panjang lebar membahas peranan panca
indera dan akal dalam pencapaian ilmu.
Apa yang ditekankan Al-Ghazali adalah yang
ditulis dalam kitabnya, Maqaashid al- Asnaa, bahwa apa yang tersingkap
oleh kasyfi intuitif hendaklah tetap dikontrol oleh akal, sehingga semua klaim
tentang hal kasyfi yang irasional, hanyalah kepalsuan belaka, dan bahwa
syari’at tidak gugur dengan haqiqat melainkan terintegrasi. Dan bahwa kewalian
adalah permulan kenabian. Bagi yang wushul, yang telah mencapai tahap kasyfi,
hendaklah ia menghindarkan dari dari keinginan untuk fana, dan tetap berada
dalam koridor sebagaimana manusia sewajarnya. Tidak ada alasan untuk menggurkan
syari’at, karena yang menggugurkan taklif syara sekalipun keluar dari yang
mengkalim dirinya telah wushul hanyalah ambisi kemewahan semata, dan dorongan
syahwat yang menunjukan karakter rendah. Maka tandingilah keinginan itu dengan
upaya untuk berbuat kebaikan yang seluas-luasnya bagi umat manusia dengan
berpijak pada prinsip ikhlas.
Apa yang luput dari Al-Ghazali, dan mungkin juga
secara substansial tidak muncul dalam telaah terhadap karya-karya Al-Ghazali,
ialah mengenai potensi dan kapabilitas intuisi fisis (physical intuition),
sehingga intuisi ini terbagi dua yaitu intuisi fisis dan intuisi transendental.
Yang dapat kita pahami dari intuisi fisis ini
dapat memberikan perumpamaan untuk bisa memahami intuisi transendental. Intuisi
fisis ialah intuisi yang dapat mengidrok objek-objek fisis (maojuud hissi)
sekalipun indera tidak menjangkaunya, sehingga laporannya tentang dunia hissi
sampai ke akal. Sekalipun orang buta atau tuli secara dzohir tidak mampu
menangkap objek fisis karena keterbatasannya, tetapi ia tetap memiliki intuisi
tentang dunia fisis, seperti adanya gerak, adanya suara, adanya warna, yang
informasi demikian ini sangat vital bagi akal, namun tidak sedetail apa yang
dapat ditangkap oleh indera dan akal. Bagi akal tidak ada bedanya, baik bagi
orang buta (termasuk buta warna) atau pun yang tidak buta, tetap tidak
menggeser akurasi akal. Maka celakalah orang yang membeda-bedakan antara orang
yang cacat (terbatas) inderanya dengan yang tidak, karena Alloh sendiri tidak
membeda-bedakannya.
Intuisi fisis bisa jadi pula apa yang disebut
oleh Al-Ghazali ruh khayaali-aqli dalam Misykaat al-Anwaar.
Intuisi fisis ini layaknya intuisi transendental, ia diumpamakan seperti lubang
cahaya penglihatan yang tak tembus oleh indera, sekalipun kita tidak mampu menjangkau
dan tidak dapat menjelajahi luasnya, tetapi kita bisa mengetahui akan
maojudnya. Namun keduanya berbeda wilayahnya, intuisi fisis di wilayah dunia
fisis yang tak terjangkau indera, dan intuisi transendental di wilayah
metafisis yang tak terjangkau akal.
0 komentar:
Post a Comment